14 April 2008

Worklife Balance

Saat ini trend manajemen organisasi bisnis mempercayai bahwa sukses perusahaan ditentukan oleh seberapa banyak karyawannya yang engaged atau terlibat secara penuh dan sukarela dengan pekerjaannya. Karyawan yang engaged ini dipercaya mampu melakukan tindakan-tindakan melebihi apa yang ditugaskan pada dirinya.

Akibatnya perusahaan meluncurkan berbagai program agar karyawannya engaged dengan pekerjaan, dengan tim kerjanya dan pada akhirnya dengan perusahaan. Tren pengelolaan people-pun kemudian fokus pada bagaimana lebih mengenal dan memenuhi kebutuhan karyawan, bagaimana peduli terhadap karyawan sebagai manusia serta bagaimana memberdayakan karyawan agar mampu terlibat dengan pekerjaannya.

Karyawan, karena pastinya seorang manusia, tentunya tidak bisa melepaskan kodratnya sebagai mahkluk sosial, yang membutuhkan kehidupan sosial agar dapat bertahan hidup. Bila perusahaan menginginkan karyawannya tumbuh, berkembang dan merasakan kebahagiaan hidup - yang konon berkorelasi langsung dengan engagement di pekerjaannya -, mau tidak mau, suka tidak suka, bila menginginkan terjadinya engagement, harus memikirkan sisi kehidupan sosial karyawannya, terutama di luar kehidupan kerja sehari-hari.

Disinilah ranah kajian Worklife Balance dimulai.

Secara harafiah worklife balance bisa diartikan sebagai keseimbangan antara kehidupan dalam pekerjaan dengan kehidupan lainnya sebagai makhluk sosial. Namun bukan berarti arti 'keseimbangan' tersebut dibaca dengan 'sama dengan' berdasarkan jumlah atau kuantitas. Mencoba membagi sama jumlah jam kerja dengan jumlah jam bersama keluarga dalam sehari, misalnya dikantor 8 jam dan bermain dengan keluarga 8 jam, tidaklah realistis. Jam kerja kadang lebih dari 8 jam, kadang kurang - walaupun jarang.

Namun keseimbangan disini lebih diartikan secara psikologis, yang tentunya menjadi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya seorang bujangan tentunya merasa seimbang-seimbang saja walaupun tidak bertemu keluarga, namun mungkin merasa terganggu kehidupan sosialnya bila waktu gaul-nya terpakai untuk pekerjaan di kantor.

Atau saat si bujangan ini menikah, tentunya terjadi pula perubahan keseimbangan yang dibutuhkannya karena telah memiliki keluarga sendiri yang perlu diperhatikan. Perubahan keseimbangan juga terjadi kembali bila ia kemudian memiliki anak atau misalnya ia pindah ke perusahaan baru yang pekerjaannya membutuhkan perhatian lebih.

Karenanya, tidak ada ukuran yang pas untuk menghitung apakah kita sudah balance, karena setiap orang pasti memiliki perbedaan kehidupan dan prioritas hidup. Untuk itu tentunya perusahaan perlu memikirkan strategi worklife balance-nya agar lebih terbuka, lebih bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan keseimbangan yang dimiliki karyawannya, dan yang paling penting, memberdayakan karyawannya untuk mengetahui keseimbangan seperti apa yang mereka butuhkan. Memaksakan suatu program worklife balance kepada karaywan yang merasa tidak membutuhkan, tentunya merupakan tindakan sia-sia yang membuang waktu dan uang perusahaan.

No comments: