28 August 2008

Mendatangkan Bintang

Siapa tak kenal Sheva alias Andriy Shevchenko, pesepak bola kenamaan yang namanya meroket ketika bergabung dengan klub AC Milan dari Italia. Ia adalah orang ketiga terbanyak mencetak gol dalam sejarah seluruh klub di daratan eropa sebanyak 60 goal, dibawah Gerd Muller dan Filippo Inzaghi. Ia saat itu juga pemain kedua terbanyak yang mencetak gol sepanjang sejarah AC Milan, setelah Gunnar Nordahl.

Saking hebatnya, klub kaya raya dari Inggris, Chelsea, pun rela merogoh koceknya sebesar 30 juta pondsterling untuk memboyong Sheva ke stadion Stamford Bridge, kandang Chelsea di London.

Cuma apa mau dikata, sang superstar malah loyo di Inggris. Gol-gol cantiknya yang selalu dinikmati fans Inter Milan, tak lagi subur di Inggris.

Namun, siapa di dunia ini yang berani bilang Sheva nggak becus main bola? siapa pula yang nekat ngecap Sheva sebagai pemain bola kelas kampung? Semua fans sepak bola pastilah tetap mengakui Sheva pemain hebat, meski prestasinya melorot di Chelsea.

'Kasus Sheva' juga banyak terjadi di dunia kantoran. Karyawan yang hebat di suatu perusahaan, 'dibajak' perusahaan lain. Seperti juga Chelsea, perusahaan lain itupun harus merogoh kocek dalam untuk mendatangkan sang bintang. Dan seperti Chelsea juga, kadang perusahaan lain itupun apes, sang bintang malah redup di tempatnya.

Adalah Marcus Buckingham dalam bukunya 'One Thing You Need To Know' yang bilang bahwa sukses seseorang itu ngga pernah bisa 'berdiri' sendirian. Sukses seseorang itu membutuhkan seorang atasan yang hebat untuk mengenal lebih dekat, membimbing, peduli dan tak lelah memberi inspirasi, butuh teman kerja yang mendukung dan saling menghargai, butuh punya sahabat di kantor, butuh punya peralatan pendukung kerja yang tepat dan yang paling penting, butuh kejelasan mengenai hasil kerja yang diharapkan.

Karena itu, jangan cepat-cepat berkesimpulan bahwa seseorang yang sukses di suatu tempat pasti juga sukses di tempat kita. Tentu saja ada juga orang yang memang selalu sukses di manapun ia berada, seperti Diego Maradonna misalnya - pemain bola legendaris asal Argentina itu, namun sayangnya orang seperti Diego Maradonna juga ngga begitu banyak kalau tak bisa dibilang sangat sedikit, sehingga kalaupun ada, pasti sangat mahal dan jadi ajang rebutan.

Nah, bagaimana dengan kita, sudahkah kita mempersiapkan semua itu sebelum 'membajak' sang bintang dari tempat lain? Punya uang saja tak pernah cukup untuk membajak seorang bintang, butuh kelengkapan lainnya, termasuk kesiapan atasan serta calon teman-teman kerja si sang bintang itu nantinya.

PS. Kabar terakhir bilang, Sheva kembali ke rumah lamanya, AC Milan. Semoga saja ia kembali sukses di tempat yang pernah memberikan ketenaran pada dirinya.

11 August 2008

Hubungan antara Menemukan Kelebihan dengan Kinerja Tinggi

Ya!, apa hubungannya? Seandainya saja saya telah menemukan kelebihan (strengths) diri saya, apa kemudian mendadak saya menerima nilai paling tinggi pada performance apprasial?

Jelas tidak. Menemukan kelebihan baru merupakan langkah awal dari perjalanan panjang memanfaatkan kelebihan diri. Misalnya saja, setelah dirasa-rasakan, kelebihan diri si Badu dalam berhubungan dengan orang lain adalah ’Relator’- salah satu tema kekuatan yang dibuat Gallup dalam 34 tema kekuatan diri manusia, artinya si Badu pandai dalam mengelola hubungan dengan teman-teman yang sudah dikenalnya.

Bila kemudian dalam bekerja si Badu ini setiap harinya harus melakukan pengelolaan hubungan dengan orang-orang yang sudah dikenalnya, maka ia tentunya melakukannya dengan sangat gembira, karena memang disitulah kelebihan dia. Ia dengan sukarela menjalankan tugas-tugasnya dan bersedia dengan sukarela pula melakukan kerja ekstra, karena toh memang ia menyenangi pekerjaannya.

Pada kondisi tersebut, si Badu bisa dengan percaya dirinya menjawab ’sangat setuju’ dari pertanyaan nomor 3 dari Survei Q12: Dalam pekerjaan, saya memiliki kesempatan untuk melakukan apa yang terbaik setiap harinya!

Sebaliknya, bila ternyata Badu jarang memanfaatkan secara tidak sadar talenta ’senang berkenalan dengan orang yang belum dikenal’, atau bisa dianggap sebagai kekurangan dari si Badu, maka bila dalam bekerja si Badu ini diharuskan bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenalnya, ia akan memaksa dirinya ’beramah-ramah’ dengan orang-orang itu. Wajahnya mungkin tersenyum, namun hatinya menjerit!. Ia bisa saja selalu merasa dag-dig-dug dan kurang pede setiap harus bertemu orang-orang itu. Akibatnya ia gelisah menghadapi hari-hari dalam pekerjaannya. Ujungnya, si Badu stress. Pendeknya, berkenalan dengan orang baru tidak memberikan kenyamanan didalam hati si Badu.

Pada kondisi tersebut, mungkihkah si Badu ini masih bisa dengan percaya dirinya menjawab ’sangat setuju’ dari pertanyaan Q nomor 3 dari Survei Q12?

Jadi, jelas sudah mengapa kelebihan diri itu sangat-sangat mempengaruhi hasil kerja kita. Bila kita pas dalam menggunakan kelebihan diri dengan pekerjaan, hati pun riang gembira dan kinerja pun membaik, begitu pula sebaliknya.

31 July 2008

Menjadi Great Manager

Karyawan yang terlibat (engaged) dengan pekerjaannya itu, menurut Marcus Busckingham dalam bukunya First Break All the Rules, karena dikelola oleh seorang Great Manager.

Dalam meningkatkan keterlibatan karyawan, si Great Manager ini, selain memilih karyawan dan menempatkannya sesuai bakat si karyawan, juga mengelola tim kerjanya dengan selalu memperhatikan aspek-aspek tertentu, yang kemudian dikenal 12 aspek dalam Survey Q12, yang melalui penelitian panjang Gallup, terbukti memiliki korelasi langsung dengan kinerja tim.

Berikut ini tips – bukan aturan baku – yang bersumber dari 12 aspek Survei Q12, yang bisa dijadikan inspirasi bagi Manager dalam mengembangkan engagement di tim kerja.

Menyediakan Peralatan Kerja yang Memadai
(Q2-peralatan kerja memadai)
  • Tanyakan anggota tim ”apakah sudah memilki peralatan yang dibutuhkan dalam bekerja?”
  • Ajak anggota tim untuk ikut memilih peralatan kerja yang tepat.
  • Minta anggota tim untuk bertanggung jawab menjaga dan merawat peralatan kerja.
  • Buat informasi tertulis tentang bagaimana mendapatkan peralatan yang dibutuhkan.
  • Ajak anggota tim bersama-sama melakukan invetarisasi perlengkapan tim setiap kuartal atau setiap tengah tahun.

Membuat Anggota Tim Bekerja dengan Baik dan Benar
(Q3-melakukan yang terbaik; Q9-komit atas kualitas hasil kerja; Q8-Misi dan tujuan perusahaan)
  • Lakukan cross training antar anggota tim, sehingga mengetahui pekerjaan teman kerjanya.
  • Minta anggota tim yang memiliki bakat memimpin untuk memimpin meeting reguler tim.
  • Berikan keleluasaan bagi anggota tim membuat jadwal kerjanya sendiri untuk mencapai target individu dan tim kerja.
  • Ajak anggota-anggota tim terbaik untuk berpartisipasi menyeleksi kandidat karyawan baru dan memberikan orientasi anggota tim baru.
  • Ajak dan dukung kegiatan informal tim (makan siang bersama, memancing dll.)
  • Tanyakan anggota tim untuk mengerjakan apakah ia menerima gaji setiap bulannya? Cari tahu apa makna bekerja bagi dirinya. Lakukan rotasi kerja bila memungkinkan.
  • Edarkan ’Tips Bulan Ini’ disaat melakukan perubahan cara kerja.

Memberikan Pujian dan Penghargaan
(Q4-pujian 7 hari terakhir)
  • Cari tahu jenis penghargaan seperti apa yang diharapkan dari masing-masing anggota tim.
  • Gunakan media yang ada (e-mail, meeting regular) untuk menyampaikan pujian dan penghargaan secara terbuka atas suatu hasil kerja yang baik.
  • Dorong anggota tim untuk saling memberi penghargaan satu dengan lainnya.
  • Mintakan masing-masing anggota tim memberi pendapat mengenai saat-saat ia merasa terbantu oleh teman kerjanya.
  • Tuliskan – dengan tulisan tangan anda sendiri – kartu ucapan terima kasih untuk hasil kerja terbaik yang dilakukan anggota tim.
  • Nominasikan staff anda yang berkualitas ke program-program penghargaan yang ada (misalnya PD’s Award)
  • Luangkan waktu yang lebih banyak untuk coach/pembinaan bagi staf terbaik anda. Jelaskan ke staf arti penting coaching agar ia semakin mencapai hasil kerja maksimalnya.
  • Ajak tim kerja anda untuk membuat sendiri cara penghargaan tim yang unik, khas dan berbeda dengan tim lainnya.

Membangun Hubungan Kerja Antar Anggota Tim
(Q5-peduli terhadap saya; Q10- memiliki sahabat)
  • Sapa setiap anggota tim kerja anda sebanyak mungkin, agar mereka tidak ‘sungkan’ meminta bantuan anda.
  • Coba untuk mengingat setiap nama dari anggota tim kerja. Lebih baik lagi bila anda juga mengingat hal-hal personal mereka, sepeti tanggal lahir, nama pasangan, jumlah anak dlsb.
  • Lakukan aktivitas team building pada berbagai kesempatan bersama yang anda miliki.
  • Buat acara makan bersama dengan seluruh anggota tim, tanpa terkecuali.
  • Perbanyak kehadiran langsung anda di tengah-tengah seluruh anggota tim, pastikan mereka mengetahui bahwa anda juga manusia biasa seperti mereka.
  • Ajak anggota tim untuk bersosialisasi dengan teman kerja di luar tim kerja (misalnya dengan mendorong ikut klub karyawan)
  • Buat daftar profil anggota tim yang dapat dilihat seluruh anmggota tim, yang berisikan mulai dari tanggal lahir, makanan kegemaran, hoby dan lainnya yang bersifat personal, agar seluruh anggota tim saling mengetahui dan mengenal teman kerjanya.

Mengembangkan Karir Anggota Tim
(Q11-Mendorong pengembangan diri; Q12-kesempatan belajar dan berkembang)
  • Jadwalkan pertemuan satu per satu dengan seluruh anggota tim kerja. Tantang mereka untuk mencapai target kerjanya, monitor perjalanan pencapaiannya dan berikan bantuan bila ia memerlukannya.
  • Berikan waktu kepada staf untuk melakukan riset, kemudian mintakan staf tersebut mempresentasikan hasil risetnya.
  • Minta kepada staff terbaik anda untuk membawakan materi pengenalan tentang produk baru, prosedur baru dan sejenisnya.
  • Buatkan daftar keahlian dan pengetahuan yang dibutuhkan tim kerja anda. Ajak tim kerja menguasainya.
  • Delegasikan proyek maupun tugas kepada staf terbaik anda, beri kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dirinya.
  • Bila dimungkinkan, libatkan sebanyak mungkin anggota tim kerja dalam melakukan perencanaan kerja, jadwal kerja, serta pengambilan keputusan-keputusan bersama.
  • Bila dimungkinkan, sesekali ajak atasan anda untuk ikut dalam meeting regular tim kerja anda.

Berkomunikasi
(Q1-tahu yang diharapkan dari saya; Q7-Pendapat saya dihargai; Q6-berbicara mengenai kemajuan kerja saya)
  • Selalu konsisten dalam menjelaskan arti employee engagement, Survei Q12, pentingnya IMPACT Plan bagi tim.
  • Pastikan anda menjalankan pertemuan regular, baik formal maupun informal sedikitnya 15 menit per minggunya.
  • Pastikan setiap anggota tim dapat mengakses informasi-informasi mengenai internal memorandum, pengumuman melaui email dan kebijakan/prosedur
  • Pastikan bahwa kekecewaan anda atas hasil kerja yang kurang baik tertuju tepat hanya kepada mereka yang bekerja kurang baik. Hindari memberikan umpan balik secara umum atas hasil kerja yang kurang baik kepada seluruh tim.
  • Sampaikan hasil-hasil yang telah dicapai oleh tim secara periodik.
  • Padamkan issue, gosip dan kasak-kusuk yang tidak benar di tim kerja anda, dengan menyampaikan fakta sesungguhnya. Jangan biarkan issue tersebut membesar dan menjadi ‘kebenaran’.
  • Dengarkan secara aktif staff anda. Jangan berasumsi mengenai arti atau makna pembicaraan staf anda, tanyakan maksudnya.
  • Sampaikan ekspektasi anda terhadap suatu tugas atau pekerjaan, dan sampaikan pula progress pencapaiannya.
  • Selenggarakan forum yang khusus untuk memberikan kesempatan tim kerja menyampaikan uneg-uneg mereka.

07 July 2008

Memberikan hasil kerja terbaik, setiap harinya

Dari Q3 (Dalam pekerjaan saya memiliki kesempatan untuk melakukan keahlian terbaik saya setiap hari), Q4 (Dalam tujuh hari terakhir saya memperoleh penghargaan atau pujian karena melakukan pekerjaan dengan baik), Q5(Penyelia saya atau sesama karyawan tampaknya menghargai saya sebagai pribadi) dan Q6 (Ada seseorang di tempat kerja yang mendorong perkembangan saya) Survey Q12.

Ada dua kondisi yang akan membuat anda merasa bahagia dalam bekerja setiap harinya:

  • Anda merasa hari itu telah memberikan yang terbaik yang bisa anda lakukan.
  • Ada seseorang memuji anda.

Bila salah satu dari kedua kondisi tersebut anda rasakan setiap hari, dijamin anda tidak mengalami stress dalam bekerja, dijamin anda menikmati setiap tugas-tugas yang harus anda selesaikan, ujungnya, dijamin anda secara otomatis memberikan kinerja terbaik yang bisa anda berikan ke tim kerja dan perusahaan.Berikut ini beberapa tips, sekali lagi tips, bukan aturan baku, yang dapat membantu anda mencapai kedua kondisi tersebut di tempat kerja. Anda tetunya dapat pula membuat tips anda sendiri.

Tips untuk mengenali Strengths diri Anda sendiri

Kuncinya berada pada pengetahuan anda mengenai diri anda sendiri:

  • Tahukah anda, kapan anda melakukan suatu hal dengan hasil yang nyaris sempurna?
  • Bila hal tersebut diulang, akankah hasilnya kembali nyaris sempurna?

Bila anda temukan jawabannya, bisa jadi itulah keahlian terbaik atau strengths yang anda miliki.

Selain dengan cara di atas, anda juga dapat mencari tahu kelebihan anda dengan cara sederhana lainnya:

1. Buatlah daftar alamat email dari sedikitnya 2 orang teman dekat di kantor, sedikitnya 2 orang teman dekat di luar kantor, dan sedikitnya 2 orang yang mengetahui diri anda secara baik di keluarga.

2. Kirimkan ke mereka e-mail dengan pertanyaan sederhana “menurut anda, apa sih kelebihan saya yang bermanfaat buat anda? dan kapan anda melihat kelebihan saya itu?.” Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut adalah penjelasaan saat-saat keberadaan kita dirasakan bermanfaat bagi orang lain.

3. Selanjutnya, cobalah tarik benang merah dari seluruh jawaban yang masuk, adakah persamaan-persamaannya dari kelebihan-kelebihan anda? Persamaan-persamaan dalam melakukan hal terbaik itulah yang dapat dijadikan indikasi dari strengths yang anda miliki.

4. Melalui indikasi tentang kelebihan anda tersebut, pikirkan suatu pekerjaan yang anda harus selesaikan di kantor, bagaimana caranya menyelesaikan pekerjaan itu dengan memanfaatkan kelebihan anda.

Skenario dari penjelasan di atas misalnya dari berbagai komentar mengenai kelebihan anda menyebutkan bahwa anda seorang yang selalu senang belajar hal baru. Misalnya pula dalam pekerjaan anda harus menemui seorang klien dari perusahaan besar. Maka dalam melakukan pekerjaan anda, cobalah untuk mempelajari berbagai hal mengenai klien anda, mulai dari perusahaannya, jenis usahanya, sampai dengan hal-hal lain yang berkaitan dengan klien anda. Anda tentunya dengan senang hati mempelajarinya – karena memang kelebihan anda adalah belajar.

Bila hasil belajar tersebut anda jadikan wacana dengan klien anda, bukan tidak mungkin klien anda semakin tertarik dengan anda, karena merasa anda memberi perhatian lebih, berempati, dengan mengetahui berbagai hal tentang bisnisnya.

Ujung-ujungnya, anda berhasil mendapatkan bisnis dari klien, atasan anda pun kemudian memuji hasil kerja anda, dan menganggap anda sebagai salah satu aset terbaiknya.

Begitu seterusnya, skenario itu berulang hari demi hari. Anda bekerja dengan memanfaatkan kelebihan anda sehingga anda pun menjadi gembira melakukannya, dan juga mendapatkan penghargaan dan pujian karena hasil kerja anda. Tiada lagi hari-hari stress di tempat kerja.

Tips memanfaatkan siklus performance management system yang ada

Performance management system (PMS) adalah alat bantu standar untuk mencapai kinerja standar. Mengapa standar? Karena PMS dibuat untuk dapat digunakan oleh seluruh karyawan dalam satu perusahaan. Secara umum, PMS biasanya mencakup 3 aktivitas besar;

  • setting target kerja atau individual performance objective,
  • review tengah tahun atau mid-year review,
  • review akhir tahun atau performance appraisal.

PMS ini, sekali lagi, hanyalah alat bantu administratif saja. Di ketiga aktivitas tersebut biasanya anda diharuskan melakukan sesuatu, entah itu mengisi formulir secara tertulis maupun melalui web. Dan juga yang kerap dilupakan, diantara ketiga kegiatan besar PMS itu, anda harus mendapatkan coaching atau bimbingan dari atasan anda.

Coaching adalah hal yang sulit dikontrol melalui PMS, padahal coaching merupakan jantung dari pencapaian kinerja tinggi. Karena itu, bila anda ingin prestasi yang lebih dari sekedar standar, coba saja untuk mendapatkan coaching dari atasan dengan cara:

  • Minta waktu pada atasan anda untuk berdiskusi mengenai perjalanan pencapaian target kerja anda.
  • Sampaikan kondisi pencapaian anda
  • Sampaikan hambatan-hambatan yang anda hadapi
  • Diskusikan pengembangan skill dan knowledge yang mungkin anda butuhkan untuk mengatasi hambatan tersebut
  • Atasan anda tentunya akan memberi umpan balik. Dengarkan umpan balik tersebut secara positif, anda sangat membutuhkannya! Bekerja tanpa mendapatkan umpan balik dapat mengakibatkan anda tersesat ke arah yang tidak sesuai dengan apa yang dipikirkan atasan anda.
  • Buat rencana tindakan sesuai dengan hasil diskusi dengan atasan anda.

Semakin anda berprestasi, semakin banyak pula anda membutuhkan coaching, bukan sebaliknya. Karena itu, jangan tunggu atasan anda meng-coaching anda, andalah yang harus dapat membuat peluang sebanyak mungkin untuk mendapatkan coaching dari atasan anda.

Semakin banyak anda berdiskusi dengan atasan anda, semakin jelas pencapaian hasil kerja anda, dan semakin pasti pula kira-kira hasil penilaian apa yang akan anda dapatkan di akhir tahun.

Tips mengembangkan karir Anda sendiri

Karir anda tergantung pada diri anda sendiri, bukan oleh atasan anda, bukan pula oleh perusahaan anda.

Mengapa demikian? Karena andalah yang paling tahu mengenai kelebihan diri anda sendiri. Andalah yang paling merasakan cocok tidaknya suatu hal dengan kepribadian anda sendiri. Bayangkan bila pengembangan diri anda ditentukan perusahaan atau atasan anda: anda menjadi ’seseorang’ yang anda sendiri tidak kenal!

Karir pun dapat anda kembangkan. Bukan melulu dikarenakan anda naik pangkat atau jabatan, namun juga bila anda mendapat keahlian baru, pengetahuan baru, pengalaman baru. Semakin banyak keahlian, pengetahuan dan pengalaman anda, semakin mampu pula anda memikul tanggung jawab yang lebih besar lagi.

Karena itu, pilihlah pengembangan karir –pengetahuan, keahlian dan pengalaman- yang anda rasa cocok dengan kelebihan anda. Jangan terlalu paksa diri anda untuk memperbaiki kekurangan anda, karena lebih mudah mempertajam kelebihan yang anda miliki ketimbang memperbaiki kekurangan.

27 June 2008

Pentingnya Memiliki Perlengkapan Kerja yang Tepat

Q2 dari Q12: Saya memiliki materi dan perlatan yang saya perlukan untuk melakukan pekerjaan saya dengan benar

Setelah memahami apa yang menjadi ekspektasi atasan terhadap pekerjaan kita, maka selanjutnya kita bisa menentukan alat-alat bantu apa saja yang kita butuhkan. Alat bantu dapat berupa berbagai hal seperti perlengkapan elektronik, alat tulis, software, sistem jaringan, internet, kamera, laptop, pc, informasi-informasi dan bahkan dapat pula keanggotaan dalam suatu klub profesi.

Biasanya, setiap perusahaan memiliki standar alat bantu yang diberikan kepada seluruh karyawannya. Di luar alat bantu standar, jenis pekerjaan akan menetukan alat-alat bantu tambahan. Alat bantu tambahan ini bisa saja berbeda dari satu bagian ke bagian lain, bahkan dalam satu bagian dengan jenis pekerjaan yang sama, dapat saja karyawannya membutuhkan alat bantu yang berbeda.

Contohnya dalam suatu tim kerja penjualan, seluruh anggota timnya mendapatkan laptop. Namun bisa saja laptop tersebut sangat bermanfaat bagi si Badu, misalnya, yang menggunakannya sebagai ’pusat informasi’ dalam mengelola nasabah. Sebaliknya, laptop tersebut tidak begitu bermanfaat bagi si Budi yang lebih mengandalkan telepon untuk mengelola nasabahnya. Memaksa si Budi untuk mengikuti cara Badu dalam memanfaatkan laptop dapat mengakibatkan tidak efektifnya kerja Budi.

Dalam menentukan alat-alat bantu tambahan tentunya memerlukan pertimbangan-pertimbangan karena memang perusahaan pastilah memiliki keterbatasan-keterbatasan. Pertimbangan tersebut misalnya adalah:

  • Bagaimana alat bantu tersebut membantu diri kita dalam menyelesaikan pekerjaan?
  • Bagaimana alat bantu tersebut membantu tim kerja atau perusahaan menciptakan nilai tambah?
  • Bagaiman alat bantu tersebut meningkatkan kepuasan nasabah?

Dengan melihat ketiga dimensi tersebut maka kita dapat menentukan apakah alat bantu tambahan yang kita butuhkan itu memang perlu kita miliki.

20 June 2008

Pentingnya Mengetahui Ekspektasi Secara Tepat

Q nomor 1 dari Q12: Saya paham apa yang diharapkan dari saya dalam pekerjaan

Mengetahui apa yang diharapkan atasan tentang apa yang menjadi pekerjaan kita merupakan panduan utama untuk berprestasi dalam bekerja. Dengan mengetahui harapan atau ekspektasi tersebut secara tepat, maka jelas pula apa yang dimaksud dengan hasil terbaik dalam pekerjaan kita.

Sebaliknya, ketidaktahuan kita terhadap harapan atau ekspektasi atasan tentang pekerjaan kita, menyulitkan kita untuk tahu apa yang dimaksud dengan hasil terbaik dari pekerjaan kita. Ujung-ujungnya, berpengaruh pada penilaian hasil kerja saat evaluasi penilaian kerja di akhir tahun.

Untuk itu, bila merasa tidak tahu apa yang diharapkan atasan mengenai pekerjaan kita, segera saja lakukan:
- minta waktu atasan untuk mendiskusikan harapan atau ekspektasinya,
- rumuskan definisi secara jelas target kerja seperti apa yang harus kita capai agar dapat memenuhi harapan atau ekspektasinya.
- sepakati dengan atasan definisinya.
- lebih baik lagi bila hasil diskusi itu dicatat secara tertulis

Perlu diingat, prosedur atau langkah-langkah dalam melakukan sesuatu bukanlah hasil dari pekerjaan, namun proses dalam bekerja. Langkah–langkah tersebut adalah standar minimum yang harus kita lakukan untuk menghasilkan sesuatu. Apa yang dihasilkan melalui langkah-langkah tersebutlah yang memiliki nilai dalam prestasi kerja.

Untuk itu, bila pekerjaan kita sehari-hari melaksanakan satu atau dua dari berbagai langkah prosedur, maka kita perlu mencari tahu, mengapa langkah-langkah tersebut penting? Nilai atau hasil apa sesungguhnya yang akan dicapai bila kita menjalankan langkah-langkah tersebut?

Dengan mengetahuinya maka kita bisa memikirkan perbaikan-perbaikan yang mungkin dilakukan dalam pekerjaan kita, sehingga keseluruhan langkah menghasilkan nilai atau hasil yang lebih baik, dan yang paling penting kita bisa melebihi ekspektasi atasan kita!

Mengetahui ekspektasi adalah hak kita sebagai karyawan yang timbul sebagai akibat kewajiban yang telah kita penuhi untuk siap bekerja dalam perusahaan. Bila hak ini tidak kita manfaatkan, kita sendirilah yang paling rugi, karena tidak memiliki pegangan untuk membuktikan keberhasilan kita dalam menjalankan suatu pekerjaan.

09 May 2008

Menggenjot Engagement dengan Q12

Kemaren gue berkesempatan diskusi tentang engagement dengan seorang teman yang tertarik topik engagementnya gallup liwat survei Q12. Ketertarikan teman ini, karena survei Q12 'cuma' berisi 12 pertanyaan untuk ngukur engagement. Padahal, dia selalu bikin survei di kantornya sekitar 90 pertanyaan. Kebetulan gue pernah ngerasain ikut Q12 jadi bisalah share sedikit ke dia.

Untuk bisa make Q12, ada syarat penting yang harus kita percaya: kita harus percaya bahwa keuntungan perusahaan itu datangnya dari tim kerja terkecil yang ada di perusahaan. Kalo ini ngga bisa diterima, percuma make Q12, karena Q12 emang dibuat untuk ngukur tingkat engagement karyawan dengan pekerjaan dan tim kerjanya.

Loh?

Iya, menurut gallup, profit itu datengnya dari pelanggan yang loyal. Dan pelanggan bisa loyal karena dilayani oleh karyawan yang engaged dengan pekerjaannya, sehingga secara sukarela mau ngelakuin kerja extra demi memuaskan pelanggan.

Terus, masih menurut gallup, agar karyawan bisa engaged dengan pekerjaannya, maka ia harus memiliki bakat yang tepat untuk pekerjaan yang tepat juga, serta di'asuh' oleh seorang 'great manager'.

Nah, Q12 ini dipake untuk ngukur sehebat apa seorang line manager dan tim kerjanya melakukan praktek-praktek yang bisa membuat anggota tim bisa engaged dengan pekerjaan.

12 pertanyaan yang dijadikan ukuran itu sendiri merupakan hasil risetnya gallup ke sebegitu banyaknya karyawan dan tim kerja. 12 pertanyaan inilah yang berhasil terbukti menunjukkan korelasi positif dengan faktor profitabilitas, produktifitas, customer dan retensi karyawan.

Survei Q12 ini dilakukan setiap tahun, sehingga kita bisa mbandingin score satu tim kerja dari tahun ketahun. Setiap kenaikan skor sebesar 0,2 dapat mengakibatkan naiknya profit sebesar sekitar 27%, naiknya loyalitas pelanggan sebesar 56%, naiknya produktifitas sekitar 38% dan naiknya retensi karyawan sebesar 50%! (itu hasil risetnya gallup lho, bukan asumsi).

12 pertanyaan itulah yang kemudian dikonversi menjadi driver bagi line manajer untuk menggenjot engagement timnya.

Masa sih segampang itu?

Jangan seneng dulu, kalo kita liat satu-satu dari 12 pertanyaan itu baru kerasa bahwa engagement itu bukan sesuatu yang jatoh dari langit. Butuh effort dari line manager dan tim kerjanya untuk bisa ngeraih suatu tingkat engagement yang akhirnya menguntukan perusahaan.

Apa aja sih pertanyaan Q12nya Gallup? ini dia:

1. I know what is expected of me at work.
2. I have the materials and equipment I need to do my work right.
3. At work, I have the opportunity to do what I do best everyday.
4. In the last 7 days, I have received recognition or praise for doing good work.
5. My supervisor, or someone at work, seems to care about me as a person.
6. There is someone at work who encourages my development.
7. At work, my opinions seem to count.
8. The mission/purpose of my company makes me feel my job is important.
9. My associates (fellow employees) are committed to doing quality work.
10. I have a best friend at work.
11. In the last six months, someone at work has talked to me about my progress.
12. This last year, I have had opportunities at work to learn and grow.

08 May 2008

Competency-based VS Strengthsbased

Seorang kawan, demi mengetahui kegemaran gue belajar strengthsbased, bertanya mengenai bedanya strengthsbased dengan competency-based. Gue pun dengan berapi-api menjelaskannya sebisa mungkin dan se-sok-tau mungkin. Maklum, tentang strengthsbased ini gue juga masih taraf belajar kok:).

Gue jelasin deh kalo strengthsbased fokus pada kelebihan sesorang, sedangkan competency-based fokus pada area of improvement alias kekurangan yang perlu diperbaiki. Asumsinya juga beda banget, bila competency-based berasumsi bahwa setiap orang bisa didevelop untuk mencapai suatu level of competence tertentu, maka si strengthsbased berasumsi bahwa karena setiap orang itu unik, maka potensi pengembangan terbaiknya justru ada di kelebihannya.

Makin lama, kondisi obrolan perbadingan itu makin panas. Si kawan gue itu ternyata gak terima begitu aja. "Gimana bisa competency-based disalahin?" gitu kira-kira yang ada dipikirannya.

Lama-lama gue insap juga. Ngapain juga gue ikut-ikutan ngotot mbandingin strengthsbased dan competency-based? Kenapa juga gue ngga cuek aja mo orang bilang competency-based lebih bagus kek, strengthsbased lebih jelek kek, apa peduli gue?

Yang penting, strengthsbased udah memberdayakan diri gue untuk bisa jadi gue apa adanya, karena dibalik segala kelemahan yang gue punya, liwat strengthsbased, gue nemuin kelebihan-kelebihan diri gue yang membuat gue pede dengan pengembangan karir dan diri gue, gue juga terhindar dari stress di tempat kerja. Dan yang paling penting, kinerja gue juga kebawa oke.

Jadi, bagusan mana competency-based sama strengthsbased?
Emang gue pikirin...

21 April 2008

Karakter yang [kerap] dilupakan

Setiap iklan lowongan kerja tentunya bertujuan untuk mendapatkan calon yang paling pas untuk menduduki posisi lowong. Jadi, sukses tidaknya iklan lowongan kerja diukur dari kinerja karyawan yang direkrut melalui iklan tersebut. Bukan dari seberapa banyak jumlah lamaran yang masuk.

Coba kita lihat iklan perusahaan X berikut ini;
Dicari, seorang Manajer Rekrutmen dengan syarat:
  • Sarjana lulusan Psikologi
  • Memiliki pengalaman minimum 5 tahun menangani proses rekrutmen dan seleksi
  • Berpengalaman di industri perbankan
  • Lancar berbahasa Inggris baik lisan dan tulisan
  • Memiliki keahlian berkomunikasi dan interpersonal
Segera kirimkan lamaran anda ke....
Sebenarnya sih, iklan ini wajar-wajar saja, karena hampir semua iklan lowongan kerja ya seperti ini bunyinya. Dari isinya, kira-kira perusahaan X mencari seorang manajer rekrutmen yang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkannya kepada lawan bicara (keahlian komunikasi), serta dapat membangun hubungan antar personal yang baik (keahlian interpersonal). Selebihnya, iklan tersebut hanyalah merujuk persyaratan administratif saja, yaitu seorang psikolog (dibuktikan dengan ijasah psikologi), pengalaman 5 tahun dan pengalaman di industri perbankan (dibuktikan melalui kronologi karir di cv), serta kemampuan berbahasa inggris yang dapat dibuktikan saat interview.

Pertanyaannya, apakah dengan persyaratan seperti itu telah mencukupi untuk mendapatkan kandidat manajer rekrutment yang sukses?

Lalu bagaimana karakter-karakter spesifik yang dibutuhkan untuk profesi rekrutmen, seperti talenta membangun networking dengan pasar kerja? bagaimana dengan talenta menganalisa suatu pekerjaan? bagaimana dengan karakter 'mendengar' secara aktif ke unit bisnis yang membutuhkan karyawan? bagaimana dengan talenta menjual perusahaan agar menarik orang untuk bergabung?...

Biasanya, hal-hal yang menyangkut karakter pendukung sukses bagi sesorang yang menduduki suatu jabatan justru dicari tahu saat interview dengan kandidat, bukan dipajang di iklan.

Coba kita modifikasi iklan tadi dengan memasukkan unsur karakter:
Bila Anda:
  • Senang mengembangkan hubungan dengan berbagai pihak di pasar kerja
  • Gemar menganalisa pekerjaan sehingga dapat mengidentifikasi calon karyawan yang sesuai kebutuhan
  • Senang membina hubungan dengan calon karyawan potensial
  • Pandai menarik minat calon karyawan potensial untuk bergabung
  • Cekatan dalam bernegosiasi dengan calon karyawan
  • Serta lulusan psikologi yang berpengalaman 5 tahun di bidang rekrutmen serta mengerti industri perbankan,
Segera saja kirimkan lamaran Anda untuk mengisis posisi Manajer Rekrutment di perusahaan kami...
Iklan kedua tentunya langsung 'menyeleksi' kandidat. Psikolog yang tidak menyukai bertemu dengan orang lain, tentunya berfikir dua kali untuk mendaftar. Demikian pula orang yang tidak bisa membangun network, tidak terbiasa 'merayu' dan menganalisa pekerjaan.

Perbedaan mendasar dari kedua iklan tersebut terletak pada fokus iklan. Bila yang pertama lebih mengedepankan syarat administratif, maka yang kedua mengedepankan karakter-karakter spesifik, atau talenta-talenta tertentu, yang 'diduga' dapat mendukung sukses karyawan dalam menjalankan tugas.

Mengapa 'diduga'?

Inilah yang kerap dilupakan oleh atasan maupun bagian rekrutmen bahkan oleh perusahaan: tidak memiliki dasar dugaan untuk mengetahui orang dengan karakter atau talenta seperti apa yang paling tepat untuk menduduki suatu posisi. Akibatnya, kerap dijumpai atasan maupun rekruter mengandalkan 'feeling', menggunakan metode sreg-sreg-an. Sreg ngga dengan calon ini atau calon itu.

Bila kita sendiri tidak tahu orang dengan karakter seperti apa yang paling pas dan berpotensi sukses untuk menduduki suatu posisi, bagaimana mungkin mendapatkan kandidat yang pas mengisi suatu posisi?

Maka yang terjadi kemudian adalah hujatan bagi bagian rekrutmen karena dianggap tidak mampu mensupply perusahaan dengan karyawan yang pas dengan kebutuhan, padahal, masalahnya ada pada cara merekrutnya yang tidak efektif karena seperti penjual batu akik: bawa sebanyak-banyak aneka jenis batu akik ke pembeli, biar pembeli memilih dengan melihatnya sendiri, satu per satu, cape deehhh...

15 April 2008

Gembira di tempat kerja


Kalau kita ngga bisa melakukan hal terbaik di tempat kerja setiap harinya, jangan takut, ada hal lain yang bisa menggantikannya: gembira di tempat kerja.

Sayangnya ngga semua perusahaan bisa seperti Google, yang nyediaan kue disejangkauan tangan tempat kerja karyawannya dan nyediain makan 3 kali sehari gratis.

Nah yang paling penting adalah mengubah konsep ketergantungan dengan perusahaan untuk merasa gembira. Robah aja konsep "kalo bukan perusahaan bonafide, mana bisa kerja gembira?..." atau pikiran seperti "nggak mungkin bisa gembira di tempat kerja kalo perusahaannya aja kelas beginian...", kita harus bisa percaya diri bahwa kita bisa gembira dan bersenang-senang, dimanapun kita bekerja.

Gimana caranya?

Salah satunya adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa kita emang niat dan ingin gembira di tempat kerja kita. Pikirkan secara positif bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita menyenangkan.

Untuk meneguhkan keyakinan, hindari ngegosip di kantor, jauhin biang gosip dan biang kerok yang ada di kantor. Kalaupun terpaksa ngegosip atau berhubungan dengan biang kerok, jangan lupa untuk segera mengisi hati, perasaan dan pikiran dengan hal-hal positif, misalnya setiap sekali ngegosip, pastiin untuk segera nraktir gorengan temen-temen di kantor, atau setiap kali abis ndenger keluh-kesah dan amarah sang biang kerok, segera aja ngasih duit ke OB, atau nolongin temen sebelah yang lagi banyak kerjaan, atau bahkan ngangkatin telepon yang ngga diangkat-angkat di meja sebelah.

Itu semua semata-mata untuk meneguhkan pikiran di kepala kita dan perasaan di hati kita supaya tetap lebih banyak hal positifnya ketimbang negatifnya. Kegembiraan cuma akan terasa kalo didukung suasana kepala dan hati yang nyaman kan?

Terus apa lagi?

Salah duanya yaitu dengan punya sahabat di kantor. Bener lo, punya sahabat di kantor bisa membuat kita gembira di kantor, karena bisa share, peduli dan saling mendukung dan saling menolong. Ini sejalan dengan hasil penelitiannya Gallup yang bilang bahwa punya sahabat di kantor bisa membuat kita engaged (terlibat) dengan pekerjaan kita.

Nah, biasanya sahabat di tempat kerja ini, terutama yang sahabatannya lawan jenis, sering dikonotasiin bahwa ujung-ujungnya selingkuh. Kalo udah begini, kedewasaan kita (baca: akal sehat) tentunya di uji, kita mo tetep gembira di tempat kerja nggak? kita mo kerjaan kita tetep fokus ngga? kita mo tetep punya sahabat nggak? kalau jawabannya iya semua, ya jangan selingkuh dengan sahabat sendiri, karena itu bisa membuat kita kehilangan sahabat, karena si 'sahabat' udah berubah jadi 'selingkuhan' yang justru bisa bikin runyam kehidupan kita di kantor...

Terus apa lagi?...

14 April 2008

Worklife Balance

Saat ini trend manajemen organisasi bisnis mempercayai bahwa sukses perusahaan ditentukan oleh seberapa banyak karyawannya yang engaged atau terlibat secara penuh dan sukarela dengan pekerjaannya. Karyawan yang engaged ini dipercaya mampu melakukan tindakan-tindakan melebihi apa yang ditugaskan pada dirinya.

Akibatnya perusahaan meluncurkan berbagai program agar karyawannya engaged dengan pekerjaan, dengan tim kerjanya dan pada akhirnya dengan perusahaan. Tren pengelolaan people-pun kemudian fokus pada bagaimana lebih mengenal dan memenuhi kebutuhan karyawan, bagaimana peduli terhadap karyawan sebagai manusia serta bagaimana memberdayakan karyawan agar mampu terlibat dengan pekerjaannya.

Karyawan, karena pastinya seorang manusia, tentunya tidak bisa melepaskan kodratnya sebagai mahkluk sosial, yang membutuhkan kehidupan sosial agar dapat bertahan hidup. Bila perusahaan menginginkan karyawannya tumbuh, berkembang dan merasakan kebahagiaan hidup - yang konon berkorelasi langsung dengan engagement di pekerjaannya -, mau tidak mau, suka tidak suka, bila menginginkan terjadinya engagement, harus memikirkan sisi kehidupan sosial karyawannya, terutama di luar kehidupan kerja sehari-hari.

Disinilah ranah kajian Worklife Balance dimulai.

Secara harafiah worklife balance bisa diartikan sebagai keseimbangan antara kehidupan dalam pekerjaan dengan kehidupan lainnya sebagai makhluk sosial. Namun bukan berarti arti 'keseimbangan' tersebut dibaca dengan 'sama dengan' berdasarkan jumlah atau kuantitas. Mencoba membagi sama jumlah jam kerja dengan jumlah jam bersama keluarga dalam sehari, misalnya dikantor 8 jam dan bermain dengan keluarga 8 jam, tidaklah realistis. Jam kerja kadang lebih dari 8 jam, kadang kurang - walaupun jarang.

Namun keseimbangan disini lebih diartikan secara psikologis, yang tentunya menjadi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya seorang bujangan tentunya merasa seimbang-seimbang saja walaupun tidak bertemu keluarga, namun mungkin merasa terganggu kehidupan sosialnya bila waktu gaul-nya terpakai untuk pekerjaan di kantor.

Atau saat si bujangan ini menikah, tentunya terjadi pula perubahan keseimbangan yang dibutuhkannya karena telah memiliki keluarga sendiri yang perlu diperhatikan. Perubahan keseimbangan juga terjadi kembali bila ia kemudian memiliki anak atau misalnya ia pindah ke perusahaan baru yang pekerjaannya membutuhkan perhatian lebih.

Karenanya, tidak ada ukuran yang pas untuk menghitung apakah kita sudah balance, karena setiap orang pasti memiliki perbedaan kehidupan dan prioritas hidup. Untuk itu tentunya perusahaan perlu memikirkan strategi worklife balance-nya agar lebih terbuka, lebih bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan keseimbangan yang dimiliki karyawannya, dan yang paling penting, memberdayakan karyawannya untuk mengetahui keseimbangan seperti apa yang mereka butuhkan. Memaksakan suatu program worklife balance kepada karaywan yang merasa tidak membutuhkan, tentunya merupakan tindakan sia-sia yang membuang waktu dan uang perusahaan.

11 April 2008

Now Discover Your Strengths

Heran, buku sebagus ini kok belum juga diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Padahal, buku ini bisa menjadi pegangan bagi mereka yang pingin jago di bidang pengembangan organisasi dan people management.

Now Discover Your Strengths adalah karya monumental Marcus Buckingham yang dibantu oleh Don Clifton, keduanya, dulunya, peneliti dari Gallup Organization. Kini Marcus bikin konsultan sendiri, The Marcus Buckingham Company, sedangakan Don Clifton sudah wafat.

Buku ini adalah tonggak dari apa yang disebut oleh Marcus sebagai Strengths Revolution, revolusi dalam mengelola manusia dalam organisasi. Bila biasanya manusia dalam organisasi dikelola dengan cara meningkatkan kelemahannya agar menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan - yang menjadi dasar pemikiran dari apa yang biasa dikenal Competency-Based approach, maka menurut Marcus manusia dalam organisasi seharusnya diperlakukan sesuai dengan kelebihan-kelebihan (strengths) yang ia miliki, atau Strengths-Based approach.

Setelah sekian puluh tahun berkutat di area yang itu-itu juga, competency-based, dunia manajemen Human Resources kini mendapat tantangan serius dengan kehadiran Strengths-based approach ini. Strengths sendiri, atau kelebihan-kelebihan, merupakan paduan dari skill (keahlian) plus knowledge (pengetahuan) plus bakat (talents) yang dimiliki seseorang.

Asumsi yang mendasari strengthsbased ini adalah bahwa:
- setiap orang memiliki bakat (talents) yang unik dan bersifat tetap (tidak berubah-ubah)
- potensi pengembangan diri seseorang ada di area yang memang sesuai dengan strengths atau kelebihannya

Karenanya, menurut Marcus, jangan main-main saat milih pegawai. Skill dan knowledge dan juga pengalaman kerja bukanlah ukuran yang pas untuk rekrut karyawan karena keduanya bisa diubah-ubah. Justru bakat-lah yang menjadi tolak ukur. "Saya ngga punya karyawan tepat untuk mengisi posisi ini", begitu biasanya alasan banyak manajer, padahal duduk perkaranya adalah orang yang direkrut sebelumnya memang tidak berbakat untuk mengisi peran tersebut.

Karena setiap orang unik, maka sudah seharusnya yang namanya performance management itu fokus pada hasil kerja, bukan cara kerja. Nggak masalah cara kerja berbeda-beda selama memang hasil kerjanya memuaskan.

Marcus juga percaya bahwa untuk mengembangkan karyawan, lebih baik bila disesuaikan dengan kelebihannya ketimbang memperbaiki kelemahannya. Alasannya simpel, orang lebih gampang improve bila melakukan sesuatu yang disenanginya. Maka, memperbaiki kelemahan seharusnya dalam rangka 'mengelola kerusakan', bukan untuk dimaksudkan mengubah kelemahan menjadi kekuatan, karena memang tidak mungkin serta membuang waktu dan uang.

Selain itu, ini yang cukup kotroversial, menurut Marcus tidak perlulah setiap orang itu naik pangkat, karena belum tentu dengan naik pangkat alias memegang peran baru, seseorang juga sukses seperti peran lamanya. Mangkanya, agar hal ini bisa terwujud, selain naik pangkat harus disediakan cara reward & recognition lain, seperti misalnya naik gaji yang berkelanjutan, bagi orang-orang yang memang sangat berbakat di suatu peran dalam pekerjaan.

Dalam buku simpel terbitan tahun 2001 ini juga memuat 34 tema talent (bakat) seseorang, yang merupakan respon spontan yang berulang-ulang dari seseorang ketika menghadapi sesuatu hal. Karena berulang-ulang digunakan seseorang sejak kecil, maka tema bakat tersebut - bila dimanfaatkan dalam bekerja - akan menghasilkan kinerja yang nyaris sempurna secara berkelanjutan. Selain itu tersedia pula cara mencari tahu bakat atau talents kita dengan memanfaatkan alat tes online karya Don Clifton, Strengthsfinder.

Buku setebal 260 halaman ini merupakan pengantar komprehensif mengenai strengthsbased approach. Melalui buku ini kita juga berkenalan dengan konsep-konsep psikologi positif yang biasanya mengusung tema-tema worklife balance, happiness at workplace dan employee engagement, yang saat ini sedang digandrungi oleh perusahaan-perusahaan fortune 500.

Nah, jelas bagi penerbit buku di Indonesia, buku ini harus diterjemahkan untuk memperkaya referensi pengelolaan human resources di Indonesia. Jangan sampai, di era internet yang serba cepat ini, kita harus menunggu 10 - 20 tahun untuk membaca mahakarya dalam bahasa indonesia. Jangan sampai tragedi terulang lagi: buku klasik Dave Ulrich, HR Champions, terbit tahun 1997 dan menjadi pegangan seluruh praktisi HR di dunia, malah belum diterjemahkan dalam bahasa indonesia:(.

Bahasa dan keberhasilan tim kerja

"Saya gembira..., tahun pertama bisa juara..." begitu kata seorang pemain sepak bola Liberia yang bergabung dengan klub sepakbola Sriwijaya FC ketika ditanya wartawan televisi tentang perasaannya menjadi juara bersama klubnya Sriwijaya FC. Dengan bahasa Indonesia yang dieja dan terpatah-patah, pemain Liberia itu memaksa dirinya menjawab pertanyaan wartawan. Hebatnya lagi, ketika sang wartawan mewawancarai seorang pemain dari Amerika Selatan, ia juga menjawab dalam bahasa Indonesia, yang terpatah-patah dan terbolak-balik prinsip diterangkan-menerangkannya.

Tulisan ini sama sekali tidak mempermasalahkan nasionalisme, dimana kita senang bila melihat 'orang asing' berbahasa Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana para pemain sepak bola asing yang kini bertebaran di berbagai klub di Indonesia, memaksa dirinya untuk bisa berbahasa Indonesia.

Dalam sepak bola, bahasa jelas menjadi hal penting untuk berkordinasi di lapangan. Bayangkan, bila seorang pemain belakang tidak mengerti apa yang diteriakkan oleh penjaga gawangnya. Atau bayangkan pula bila penyerang yang berteriak meminta bola dioper kepadanya, tidak dimengerti oleh temannya yang sedang membawa bola. Koordinasi bisa berantakan yang ujung-ujungnya membawa petaka.

Tujuan Pesepakbola asing ini memaksa diri untuk belajar dan mempraktekkan bahasa indonesia semata-mata menjaga kredibilitas mereka sebagai pemain profesional, agar prestasi tidak berantakan gara-gara ketidakmampuan berkomunikasi.

Kondisi ini sungguh kontras di dunia usaha. Para pekerja asing, seperti juga pemain bola, setiap hari berhubungan dengan 'pemain' lainnya yang warga indonesia. Bedanya, para 'pemain lainnya' inilah yang memaksa diri untuk berbahasa Inggris. Alasannya klasik, saat ini bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dalam dunia usaha internasional.

Masalahnya apakah terjadi komunikasi yang tepat-guna dalam tim kerja? Bisa iya bisa tidak, tergantung bagaimana kemampuan pemain lokal berbahasa inggris, tergantung dari pemahaman pemain lokal terhadap konteks budaya yang ada di balik kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa inggris yang dilafalkan pemain asing.

Bagaimana bila pemain lokal tidak mengetahui konteks budaya dari bahasa inggris yang diucapkan pemain asing? sebelum terjadi salah pengertian lebih dalam lagi, sebaiknya pemain lokal meminta penjelasan secara kontekstual kepada pemain asing yang mengucapkannya.

Lantas, bagaimana jadinya bila para pemain lokal, yang jelas secara jumlah lebih banyak, ramai-ramai minta penjelasan kontekstual dari setiap kalimat bahasa inggris yang keluar dari mulut pemain asing? Itulah sebabanya mengapa pemain bola asing di Indoensai memaksa diri untuk belajar dan berbicara dalam bahasa indonesia, karena konyol rasanya bila si pemain asing ini harus selalu menjelaskan lebih lanjut secara kontekstual.

Dan itulah yang tidak terjadi dengan pemain asing di dunia usaha. Pemain asing di dunia usaha terlena dengan alasan klasik bahwa bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dunia usaha, dan menganggap latar belakang budaya dari bahasa inggris tidaklah begitu penting bagi lawan bicara mereka yang pemain lokal, sehingga kerap terjadi salah paham dan macetnya komunikasi di perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga asing.

Salah paham jelas mudah dimengerti. Namun kemacetan komunikasi lebih ruwet urusannya. Kemacetan biasanya terjadi bila arus lalulintas komunikasi tidak lancar, sepihak, sehingga semakin jauh dari konsep ideal komunikasi yang saling berbalas. Satu pihak merasa sudah menyampaikan, sementara pihak lain merasa tidak jelasa apa yang disampaikan. Satu pihak meminta pihak lain terbuka untuk menyampaikan masalahnya, sementara pihak lain merasa tidak mungkin menyampaikannya secara mendalam mengingat adanya ketidak-sesuaian dan keterbatasan bahasa yang digunakan. Akibatnya, komunikasi menjadi seperlunya, hanya menyentuh kulit-kulit luar saja, tidak mampu mendalam dan tidak mampu membagi makna.

Bila ini terjadi di dunia usaha, jelas dampaknya kepada pencapaian target bersama, mengingat ada pihak-pihak yang tidak begitu jelas dengan tujuan bersama itu. Ilustrasi tim sepakbola mungkin tidak sepandan dengan kasus dunia usaha, dimana target tim sepakbola lebih mudah dipahami, yaitu meraih kemenangan dengan membuat goal ke gawang lawan sebanyak mungkin. Sedangkan di dunia usaha target keuangan yang jelas angkanya masih harus di pilah-pilah lagi dengan berbagai taktik dan strategi untuk meraihnya. Terbayang bagaimana pentingnya komunikasi untuk menjelaskan berbagai taktik dan strategi kepada tim.

Perbedaan bahasa sesungguhnya hal yang wajar-wajar saja terjadi, mengingat dunia sendiri dihuni berbagai suku bangsa dan budaya. Bila saat ini bahasa inggris mendominasi dunia usaha juga merupakan konsekuensi logis atas dominasi bangsa-bangsa anglo saxon atas perdagangan dunia. Bukan tidak mungkin, entah kapan, bahasa inggris tergeser dengan, bahasa mandarin misalnya. Bagi dunia usaha, masalah utama tentunya bukan perbedaan bahasa, namun bagaimana mencapai kinerja yang menguntungkan bagi usahanya. Untuk itu dominasi bahasa seharusnya tidak lagi menjadi penghalang bagi dunia usaha dalam berorganisasi.

Maksudnya adalah, untuk kasus di Indonesia, sudah saatnya dunia usaha yang mempekerjakan tenaga asing, apakah itu perusahaan multinasional maupun swasta nasional, tidak melulu meminta kefasihan staf lokalnya dalam berbahasa inggris untuk mencapai tujuan bisnis, namun secara arif juga meminta staf asingnya berani mencontoh para pesepakbola asing yang bermain di klub-klub indonesia: memaksa diri untuk berbahasa indonesia. Dengan memaksa diri berbahasa indonesia, para staff asing itu sesungguhnya belajar mengenai konteks keindonesiaan dari bahasa indonesia, belajar mengenai kultur dibalik bahasa. Dengan demikian tercipta keseimbangan antara mereka dengan staf lokal, yang memang sudah diwanti-wanti belajar bahasa inggris sejak sekolah dasar, malah kini mulai playgroup.

Keseimbangan tersebut akan menghapuskan batas-batas derajat dalam berkomunikasi, bila seorang satpam kadang enggan menyapa bossnya yang bule karena takut salah, maka ketika si bule menyapanya dalam bahasa indonesia, maka jelas sang satpam dengan tersenyum lebar membalasnya. Atau misalnya dalam suatu perdebatan pelik urusan pekerjaan, seorang staf lokal dapat mengungkapkan pikirannya dengan bahasa indonesia secara lebih leluasa tanpa harus merasa mendapat pelecehan dari staf lokal lainnya yang lebih fasih berbahasa inggris.

Pada kondisi tersebut, maka komunikasi melalui media bahasa tidak lagi menjadi alat pembeda kasta karyawan, namun kembali ke khitahnya sebagai alat untuk saling berbagi dan memahami satu dengan lainnya.