26 July 2017

Baju Loreng

Baju loreng sejatinya dibuat untuk kamuflase, sehingga orang yang memakainya akan tersamar karena bajunya berbaur dengan situasi alam sekitarnya. Itulah sebabnya baju kamuflase ada yang warna hijau, agar pemakainya tersamar dengan lingkungan hutan. Ada pula yang abu-abu, agar tersamar dengan padang pasir. Biru agar tersamar dengan lautan.

Mengapa orang ingin tersamar? Biar gak ketahuan musuhnya, bila ada. Bagaimana kalau tidak ada musuh? Lah ya ngapain menyamar.

Baju ini jelas efektif buat militer, karena militer butuh tersamar, butuh musuh tidak awas dengan kehadirannya. Akibatnya hampir seluruh militer di dunia punya baju lorengnya sendiri-sendiri. Tergantung situasi mereka sendiri-sendiri.

Di Indonesia, selain TNI, ada juga yang punya baju loreng. Ormas misalnya. Entah Ormas ini mau menyembunyikan diri dari siapa, karena tugasnya bukan perang dan sehari-hari gak  perlu juga terlihat tersembunyi.

Nah disinilah masalahnya... Mereka-mereka yang berbaju loreng tapi bukan militer ini malah ingin ketahuan ketimbang kesamar. Baju lorengnya sama sekali tidak bermaksud mengkamuflase apapun, justru malah supaya orang lain awas dengan kelorengannya.

Ini semua karena baju loreng identik dgn militer, sehingga kesannya serem, sehingga orang takut kalau MELIHAT yang berbaju loreng, bukan sebaliknya yang justru hakikat baju loreng: orang menjadi TIDAK MELIHAT karena menggunakan baju loreng.

Moral ceritanya: apakah baju loreng itu agar tidak terlihat, atau malah sebaliknya, terlihat dan menakutkan.  Bagaimana dengan Polri? perlukah kamuflase hutan, gurun dan lautan?

19 June 2014

Saya pilih Jokowi

Kenapa?

Begini, suatu malam sekitar 24 tahun lalu, datanglah ke kamar kost saya seorang teman, Nompi, Ia tersenyum penuh arti saat memasuki kamar saya. Kemudian ia mengeluarkan segepok fotokopian dari tas kumalnya yang bau itu.

"Nih, baca, tapi ati-ati banget ya, jangan sampe ada orang tau" bisik Nompi.

Saya lihat lembaran-lembaran fotokopian itu, terpampang judul "Sang Pemula" karya Pramoedya Ananta Toer, uppsss... ini buku yang dilarang dibaca saat itu!

Maka malam itu saya habiskan membaca buku kumal itu, dan paginya saya tercerahkan dengan tulisan Pram mengenai RM Tirtoadisuryo, Bapak pers Indonesia yang tak pernah disinggung di kurikulum pelajaran sekolah Indonesia.

Itu hanya serpihan kecil di masa suram Orde Baru. Banyak lagi kisah-kisah dimana rezim itu secara sistematis mem-bredel kemerdekaan berpikir rakyatnya sendiri.

Misalnya lagi, tentu kita ingat jawaban khas di kelas-kelas sekolahan era Orde Baru saat sang guru bertanya kepada murid-muridnya, "ada pertanyaan?", maka sang murid diam tertunduk menghindari tatapan guru... Masa itu, kita secara sistematis dibuat tidak kritis.

Rezim itu, secara sitematis juga mempersiapkan putra mahkota. Seorang pemuda cerdas yang mengikuti pendidikan militer, anak seorang begawan ekonomi, dikesankan sebagai pahlawan perang saat Indonesia menganeksasi Timor Leste, yang kemudian dinikahkan dengan putri pemimpin rezim.
 
Jalan tol karir militer sang pangeran pun disiapkan. Ia selalu berada di sebuah pasukan khusus, pasukan kesayangan sang rezim. Dengan pasukan khususnya, Ia pun menunjukan jatidirinya sebagai tentara profesional yang siap menjaga kehormatan pemimpin rezim.

Sampai suatu saat pasukan khususpun dimekarkan agar sang pangerang bisa naik pangkat bintang satu, sebuah sejarah pun ditorehkan: bintang satu termuda saat itu. Jelas kakak kelas sang pangerang cemburu, demi disalip karirnya, namun apa daya penguasa rezim saat itu sangat tajam cakarnya ke tubuh tentara, tidak beranilah para lulusan 71-73 untuk terlihat cemburu.

Puncaknya adalah ketika sang pangeran diangkat menjadi komandan divisi pasukan elit. Pasukan inilah yang dulunya dipimpin sang mertua saat mengkudeta presiden sebelumnya.

Namun apa daya, di penghujung dekade 90 an, setelah melalui berbagai konflik sosial, sang mertua digulingkan oleh teman-temannya sendiri. Demi melihat itu, sang pangeran berupaya melawan, namun presiden pengganti bertindak cepat dengan mencopotnya dari pasukan.

Putra Sang Fajar Orde Baru pun gagal menggapai impian menjadi Presiden.

Nah, kembali kenapa saya pilih Jokowi, simpel saja, saya tak ingin jaman pemberangusan kemerdekaan berfikir kembali datang lagi. Kasihan anak saya, biar saya saja yang pernah mengalami masa kelam itu.

03 September 2013

RIP Pak Tandyo

"Gimana cara kamu menelitinya?" tanya sang penguji.
"Saya datang ke dia, saya interview tidak berstruktur pak" jawab saya.
"Kamu baca ini semua referensi yang kamu tulis di daftar pustaka ini?" tanyanya.
"Iya pak" jawa saya lagi
"Darimana kamu dapat buku-bukunya?" tanyanya lagi.
"Pak Dede Pak" jawab saya sambil menoleh ke Dede Oetomo, pembimbing informal skripsi saya yang pagi itu ikutan nonton ujian skripsi saya.

Hanya tiga pertanyaan. Ya hanya tiga pertanyaan yang keluar dari Soetandyo Wignjosoebroto, sesepuh Fisip Unair, ilmuwan sosial yang dihormati di kampus saya. Namun beliaulah yang memberikan nilai paling tinggi diantara tiga penguji saya, sehingga skripsi itu akhirnya dinilai A gemuk.

***

Selama kuliah, tidak sekalipun saya merasakan kelasnya Pak Tandyo. Namun saat skripsi, entah dengan pertimbangan apa, dosen pembimbing saya meminta agar Pak Tandyo pengujinya. Saya jelas khawatir, karena nama besar Pak Tandyo, bisa-bisa saya terbantai di ujian skripsi. Apalagi metode penelitian saya rada ngga umum, semiotika, melawan kebiasaan umum saat itu yang kuantitatif.

Namun setelah ujian skirpsi justru saya paham bagaimana seharusnya seorang guru mendidik anaknya seperti Pak Tandyo lakukan di ujian skripsi saya itu. Beliau tidak mempermasalahkan teknis-teknis metode penelitian. Beliau tidak mempermasalahkan pendekatan-pendekatan teoritis.

Beliau mempermasalahkan kemauan saya untuk belajar dan kemudian menyelesaikan skripsi saya. Beliau menghargai proses belajar saya dalam membuat skripsi itu. Untuk itulah beliau tidak segan-segan memberikan nilai tinggi bagi saya, melebihi nilai yang diberikan dosen pembimbing saya sendiri.

***

Sampai saat ini, saya selalu bangga karena diuji oleh Pak Tandyo. Bukan karena beliau profesor yang disegani, namun bangga karena beliau 'memberikan' ilmu yang sangat berharga bagi saya: belajar itu butuh kemauan, dan hasil belajar itu tidak langsung sempurna. Itulah kondisi skripsi saya saat itu, tidak sempurna, namun merupakan hasil belajar dan kerja keras menyusunnya, dan tetap saja di apresiasi Pak Tandyo karena memang begitulah seharusnya proses belajar seorang murid.

Beliau saya nobatkan sebagai salah satu 'guru gelap' saya, karena memang secara formal saya tidak pernah menjadi murid di kelasnya, namun saya mendapatkan hal yang sangat berharga bagi hidup saya untuk berani mencoba sesuatu yang baru semaksimal mungkin tanpa harus khawatir dengan hasilnya. Saya bangga menjadi 'murid gelap'nya.

Selamat jalan Pak Guru, Selamat jalan Pak Tandyo.

06 March 2013

Asal Usul Employee Engagement

Apa sih employee engagement itu? trend dalam manajemen kah? atau kumpulan teori hasil penelitian kah?

Kalau sekedar trend, maka dengan mengetahui definisinya, kita bisa mencernanya secara akal sehat, secara common sense. Jadi bila engagement diartikan keterlibatan emosional, secara akal sehat kita sudah bisa duga bila karyawan dibaik-baiki ia bisa engage.

Sayangnya engagement bukan trend, tapi hasil dari penelitian-penelitian. Repotnya kalau hasil penelitian, sedikit banyak perlu tau asal usulnya, sehingga tidak cepat-cepat loncat pada suatu kesimpulan.

Adalah aliran Psikologi Positif yang melihat engagement secara ilmiah, dipelopori hasil penelitian Mihaly Csikszentmihalyi tentang Flow, yaitu kondisi dimana seseorang mengalami keterlibatan/engagement yang ditandai dengan keasyikan hingga lupa waktu saat menjalani suatu aktivitas, dimana ia merasakan kenikmatan mendalam dan kebahagiaan dalam melakukan aktivitas tersebut.

Orang dapat mengalami flow saat melakukan aktivitas kesenian, olahraga, pekerjaan, hubungan dengan orang lain, di mana mereka berkesempatan menggunakan kekuatan/strengths mereka untuk menjawab tantangan yang dihadapi secara menyenangkan.

Martin Seligman, 'Bapak'nya psikologi positif, melalui skema PERMA (Positive emotion, Engagement, Relationship, Meaning, Accomplishement) menempatkan Enagagement ini sebagai salah satu hal yang harus dicapai bila seseorang ingin mencapai kehidupan yang bahagia sejahtera lahir batin. 

Organisasi Gallup -  pelopor psikologi strengths/kekuatan, sebuah ranah kajian dalam psikologi positif - secara sistematis melakukan penelitian-penelitian tentang mengapa ada orang-orang yang hebat bekerja secara extra miles di perusahaan.

Hasilnya adalah konsep behavioral economy yang diterjemahkan dalam Gallup Path. Salah satu dari path itu adalah Engaged Employee sebagai hasil dari adanya seorang Great Manager di tempat kerja.

'Tugas' dari seorang Great Manager adalah memilih dan mengetahui kelebihan/strengths dari setiap anak buahnya, dan kemudian menempatkan si anak buahnya ke pekerjaan yang sesuai dengan kelebihannya itu, dan kemudian memenuhi kebutuhan-kebutuhan si anak buah: kebutuhan dasar sebagai pekerja , kebutuhan untuk berkinerja baik, kebutuhan bekerja sama dan diterima dalam team kerja, dan kebutuhan untuk berkembang.

Secara singkat, hasil penelitian Gallup itu menyimpulkan manajer adalah kuncinya. Kalau seorang manajer berhasil menjalankan syarat-syarat menjadi Great Manager, maka ia akan memiliki tim kerja yang 'engaged'.

Dari obrolan di atas, terlihat bahwa syarat mutlak untuk meningkatkan employee engagement, kita - manajer dan perusahaan - harus percaya dulu bahwa setiap karyawan itu unik dan memiliki kelebihan yang berbeda satu dengan lainnya, sehingga harus diperlakukan sesuai dengan keunikannya masing-masing, satu per satu.

Bisa? bisa...
Mau? Hmmmm.

19 January 2013

Jurnalistik YouTube


Ya, inilah genre baru jurnalistik, khususnya jurnalisitik televisi. Caranya? mudah saja, surfing di YouTube! karena disana tersedia berbagai video gratisan nyaris tentang apapun ada.

Jadi, misalnya kita akan buat liputan tentang banjir di Jakarta, maka segera kunjungi YouTube, surf dengan tag banjir jakarta, maka aneka video segera muncul. Langkah selanjutnya butuh sedikit kreativitas agar kemasan liputan nyambung antara satu video dengan video lainnya.

Gampang kan... apalagi semuanya gratis, cuma nyantumin alamat di youtube aja.

Nah, apakah konten gratisan seperti kalau dikomersialkan, misalnya dijadiin acara di tivi yang menghasilkan iklan, tetep gratisan? jangan-jangan jurnalistik ini malah masuk kategori jurnalistik pembajakan.