09 July 2010

Dipecat karena Kinerja?

"Saya pingin karyawan yang tidak berprestasi dipecat!", begitu ungkap seorang CEO yang dengar-dengar memang sangat berorientasi pada performance dalam mengelola perusahaan.

Memang, sejak persaingan semakin keras dan berat, kemudian banyak perusahaan mengaku berorientasi pada kinerja. Alat-alat bantu pengelolaan kinerja yang dibuat konsultan manajemen pun laris dibeli perusahaan. Rewards karyawanpun di diferensiasi antara yang berkinerja bagus dan yang enggak. Buat si para pemalas, dibuatkan program khusus agar kinerjanya membaik. Kalau kinerjanya ngga juga membaik maka siap-siap dipecat, manage out istilah kerennya.

Urusan dipecat inilah yang bikin repot perusahaan di Indonesia, karena bahkan seorang CEO pun belum tentu bisa ngomong 'you're fired' ala Donald Trump, karena di uu ketenagakerjaan indonesia ngga ada tuh aturan yang bilang bahwa kinerja bisa menjadi alasan phk...

Cuma kalau ditelaah lebih dalem, UU tersebut bukannya tidak mbolehin kita mecat orang krn kinerja, cuma memang proteksinya utk karyawan banyak sehingga perusahaan ngga gampang begitu aja mecat.

Kinerja kan ngga jatuh dari langit. Perlu pembinaan berkelanjutan agar karyawan kinclong prestasinya. Karyawan kan harus bener2 tahu apa yang harus dicapainya. Unttk itu perusahaan, dalam hal ini line manager, memang perlu banget ngobrol panjang lebar dengan karyawan mengenai apa yang harus dicapai.

Setelah clear tentang target, line manager perlu tau lagi tentang peralatan bantu yang dibutuhin karyawan agar bisa mencapai targetnya.

Urusan alat bantu ini yang kadang bikin runyam. Alat bantu kan gak cuma telepon atau notebook aja, alat bantu juga termasuk policy, prosedur, petunjuk pelaksanaan dan sejenisnya yang bisa membimbing karyawan mencapai kinerja normal. Sialnya banyak perusahaan ngga siap dengan ini. Di sisi ini juga terlihat egoisnya perusahaan. Kalau karyawan ngga perform pengen dipecat, tapi kalau ditanya gimana caranya agar perform, perusahaan gak punya jawaban...

Agar adil, suka atau gak suka perusahaan harus menemukan cara agar karyawannya perform. Cara itulah yang kemudian dijadikan prosedur atau petunjuk atau manual atau apapun namanya yang wajib diikuti karyawan. Bila 'cara' tersebut terbukti manjur menormalkan kinerja karyawan, selanjutnya 'cara' tersebut di improve, dikembangkan atau dimodifikasi agar lebih kinclong lagi, dengan demikian standar kinerja juga perlahan tapi pasti naik.

Hanya saja, sekedar punya alat bantu 'cara mencapai kinerja' baru membuat kinerja normal saja, good saja. Bagaimana agar kinerja more than good alias excellent? No pain no gain... Jelas perusahaan dulu yang harus 'extra mile' menyediakan 'cara-cara' tambahan selain cara standar, misalnya yang umum dilakukan dengan insentif, bonus dll. Ditambah dengan cara-cara yg non-cash seperti mendorong employee engagement, melatih line manager agar mampu menghandle people secara personal. Dengan inisiatif ekstra dari perusahaan barulah kemudian karyawan pun memberikan extra mile bagi perusahaan.

Kalau saja cara mencapai kinerja normal tersebut sudah tersedia dan terbukti bahwa dengan menjalankannya kinerja bisa normal, barulah kita ngomong masalah mecat orang karena kinerja. Karena memang karyawan yang ndableg, yang ngga mau njalanin juklaknya yang kudu di manage out, bukan karena kinerja, tapi karena tidak patuh mengikuti petunjuk kerja yang berakibat tidak tercapainya kinerja.