21 April 2008

Karakter yang [kerap] dilupakan

Setiap iklan lowongan kerja tentunya bertujuan untuk mendapatkan calon yang paling pas untuk menduduki posisi lowong. Jadi, sukses tidaknya iklan lowongan kerja diukur dari kinerja karyawan yang direkrut melalui iklan tersebut. Bukan dari seberapa banyak jumlah lamaran yang masuk.

Coba kita lihat iklan perusahaan X berikut ini;
Dicari, seorang Manajer Rekrutmen dengan syarat:
  • Sarjana lulusan Psikologi
  • Memiliki pengalaman minimum 5 tahun menangani proses rekrutmen dan seleksi
  • Berpengalaman di industri perbankan
  • Lancar berbahasa Inggris baik lisan dan tulisan
  • Memiliki keahlian berkomunikasi dan interpersonal
Segera kirimkan lamaran anda ke....
Sebenarnya sih, iklan ini wajar-wajar saja, karena hampir semua iklan lowongan kerja ya seperti ini bunyinya. Dari isinya, kira-kira perusahaan X mencari seorang manajer rekrutmen yang dapat mengungkapkan apa yang dipikirkannya kepada lawan bicara (keahlian komunikasi), serta dapat membangun hubungan antar personal yang baik (keahlian interpersonal). Selebihnya, iklan tersebut hanyalah merujuk persyaratan administratif saja, yaitu seorang psikolog (dibuktikan dengan ijasah psikologi), pengalaman 5 tahun dan pengalaman di industri perbankan (dibuktikan melalui kronologi karir di cv), serta kemampuan berbahasa inggris yang dapat dibuktikan saat interview.

Pertanyaannya, apakah dengan persyaratan seperti itu telah mencukupi untuk mendapatkan kandidat manajer rekrutment yang sukses?

Lalu bagaimana karakter-karakter spesifik yang dibutuhkan untuk profesi rekrutmen, seperti talenta membangun networking dengan pasar kerja? bagaimana dengan talenta menganalisa suatu pekerjaan? bagaimana dengan karakter 'mendengar' secara aktif ke unit bisnis yang membutuhkan karyawan? bagaimana dengan talenta menjual perusahaan agar menarik orang untuk bergabung?...

Biasanya, hal-hal yang menyangkut karakter pendukung sukses bagi sesorang yang menduduki suatu jabatan justru dicari tahu saat interview dengan kandidat, bukan dipajang di iklan.

Coba kita modifikasi iklan tadi dengan memasukkan unsur karakter:
Bila Anda:
  • Senang mengembangkan hubungan dengan berbagai pihak di pasar kerja
  • Gemar menganalisa pekerjaan sehingga dapat mengidentifikasi calon karyawan yang sesuai kebutuhan
  • Senang membina hubungan dengan calon karyawan potensial
  • Pandai menarik minat calon karyawan potensial untuk bergabung
  • Cekatan dalam bernegosiasi dengan calon karyawan
  • Serta lulusan psikologi yang berpengalaman 5 tahun di bidang rekrutmen serta mengerti industri perbankan,
Segera saja kirimkan lamaran Anda untuk mengisis posisi Manajer Rekrutment di perusahaan kami...
Iklan kedua tentunya langsung 'menyeleksi' kandidat. Psikolog yang tidak menyukai bertemu dengan orang lain, tentunya berfikir dua kali untuk mendaftar. Demikian pula orang yang tidak bisa membangun network, tidak terbiasa 'merayu' dan menganalisa pekerjaan.

Perbedaan mendasar dari kedua iklan tersebut terletak pada fokus iklan. Bila yang pertama lebih mengedepankan syarat administratif, maka yang kedua mengedepankan karakter-karakter spesifik, atau talenta-talenta tertentu, yang 'diduga' dapat mendukung sukses karyawan dalam menjalankan tugas.

Mengapa 'diduga'?

Inilah yang kerap dilupakan oleh atasan maupun bagian rekrutmen bahkan oleh perusahaan: tidak memiliki dasar dugaan untuk mengetahui orang dengan karakter atau talenta seperti apa yang paling tepat untuk menduduki suatu posisi. Akibatnya, kerap dijumpai atasan maupun rekruter mengandalkan 'feeling', menggunakan metode sreg-sreg-an. Sreg ngga dengan calon ini atau calon itu.

Bila kita sendiri tidak tahu orang dengan karakter seperti apa yang paling pas dan berpotensi sukses untuk menduduki suatu posisi, bagaimana mungkin mendapatkan kandidat yang pas mengisi suatu posisi?

Maka yang terjadi kemudian adalah hujatan bagi bagian rekrutmen karena dianggap tidak mampu mensupply perusahaan dengan karyawan yang pas dengan kebutuhan, padahal, masalahnya ada pada cara merekrutnya yang tidak efektif karena seperti penjual batu akik: bawa sebanyak-banyak aneka jenis batu akik ke pembeli, biar pembeli memilih dengan melihatnya sendiri, satu per satu, cape deehhh...

15 April 2008

Gembira di tempat kerja


Kalau kita ngga bisa melakukan hal terbaik di tempat kerja setiap harinya, jangan takut, ada hal lain yang bisa menggantikannya: gembira di tempat kerja.

Sayangnya ngga semua perusahaan bisa seperti Google, yang nyediaan kue disejangkauan tangan tempat kerja karyawannya dan nyediain makan 3 kali sehari gratis.

Nah yang paling penting adalah mengubah konsep ketergantungan dengan perusahaan untuk merasa gembira. Robah aja konsep "kalo bukan perusahaan bonafide, mana bisa kerja gembira?..." atau pikiran seperti "nggak mungkin bisa gembira di tempat kerja kalo perusahaannya aja kelas beginian...", kita harus bisa percaya diri bahwa kita bisa gembira dan bersenang-senang, dimanapun kita bekerja.

Gimana caranya?

Salah satunya adalah dengan meyakinkan diri sendiri bahwa kita emang niat dan ingin gembira di tempat kerja kita. Pikirkan secara positif bahwa pekerjaan dan tempat kerja kita menyenangkan.

Untuk meneguhkan keyakinan, hindari ngegosip di kantor, jauhin biang gosip dan biang kerok yang ada di kantor. Kalaupun terpaksa ngegosip atau berhubungan dengan biang kerok, jangan lupa untuk segera mengisi hati, perasaan dan pikiran dengan hal-hal positif, misalnya setiap sekali ngegosip, pastiin untuk segera nraktir gorengan temen-temen di kantor, atau setiap kali abis ndenger keluh-kesah dan amarah sang biang kerok, segera aja ngasih duit ke OB, atau nolongin temen sebelah yang lagi banyak kerjaan, atau bahkan ngangkatin telepon yang ngga diangkat-angkat di meja sebelah.

Itu semua semata-mata untuk meneguhkan pikiran di kepala kita dan perasaan di hati kita supaya tetap lebih banyak hal positifnya ketimbang negatifnya. Kegembiraan cuma akan terasa kalo didukung suasana kepala dan hati yang nyaman kan?

Terus apa lagi?

Salah duanya yaitu dengan punya sahabat di kantor. Bener lo, punya sahabat di kantor bisa membuat kita gembira di kantor, karena bisa share, peduli dan saling mendukung dan saling menolong. Ini sejalan dengan hasil penelitiannya Gallup yang bilang bahwa punya sahabat di kantor bisa membuat kita engaged (terlibat) dengan pekerjaan kita.

Nah, biasanya sahabat di tempat kerja ini, terutama yang sahabatannya lawan jenis, sering dikonotasiin bahwa ujung-ujungnya selingkuh. Kalo udah begini, kedewasaan kita (baca: akal sehat) tentunya di uji, kita mo tetep gembira di tempat kerja nggak? kita mo kerjaan kita tetep fokus ngga? kita mo tetep punya sahabat nggak? kalau jawabannya iya semua, ya jangan selingkuh dengan sahabat sendiri, karena itu bisa membuat kita kehilangan sahabat, karena si 'sahabat' udah berubah jadi 'selingkuhan' yang justru bisa bikin runyam kehidupan kita di kantor...

Terus apa lagi?...

14 April 2008

Worklife Balance

Saat ini trend manajemen organisasi bisnis mempercayai bahwa sukses perusahaan ditentukan oleh seberapa banyak karyawannya yang engaged atau terlibat secara penuh dan sukarela dengan pekerjaannya. Karyawan yang engaged ini dipercaya mampu melakukan tindakan-tindakan melebihi apa yang ditugaskan pada dirinya.

Akibatnya perusahaan meluncurkan berbagai program agar karyawannya engaged dengan pekerjaan, dengan tim kerjanya dan pada akhirnya dengan perusahaan. Tren pengelolaan people-pun kemudian fokus pada bagaimana lebih mengenal dan memenuhi kebutuhan karyawan, bagaimana peduli terhadap karyawan sebagai manusia serta bagaimana memberdayakan karyawan agar mampu terlibat dengan pekerjaannya.

Karyawan, karena pastinya seorang manusia, tentunya tidak bisa melepaskan kodratnya sebagai mahkluk sosial, yang membutuhkan kehidupan sosial agar dapat bertahan hidup. Bila perusahaan menginginkan karyawannya tumbuh, berkembang dan merasakan kebahagiaan hidup - yang konon berkorelasi langsung dengan engagement di pekerjaannya -, mau tidak mau, suka tidak suka, bila menginginkan terjadinya engagement, harus memikirkan sisi kehidupan sosial karyawannya, terutama di luar kehidupan kerja sehari-hari.

Disinilah ranah kajian Worklife Balance dimulai.

Secara harafiah worklife balance bisa diartikan sebagai keseimbangan antara kehidupan dalam pekerjaan dengan kehidupan lainnya sebagai makhluk sosial. Namun bukan berarti arti 'keseimbangan' tersebut dibaca dengan 'sama dengan' berdasarkan jumlah atau kuantitas. Mencoba membagi sama jumlah jam kerja dengan jumlah jam bersama keluarga dalam sehari, misalnya dikantor 8 jam dan bermain dengan keluarga 8 jam, tidaklah realistis. Jam kerja kadang lebih dari 8 jam, kadang kurang - walaupun jarang.

Namun keseimbangan disini lebih diartikan secara psikologis, yang tentunya menjadi berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Misalnya seorang bujangan tentunya merasa seimbang-seimbang saja walaupun tidak bertemu keluarga, namun mungkin merasa terganggu kehidupan sosialnya bila waktu gaul-nya terpakai untuk pekerjaan di kantor.

Atau saat si bujangan ini menikah, tentunya terjadi pula perubahan keseimbangan yang dibutuhkannya karena telah memiliki keluarga sendiri yang perlu diperhatikan. Perubahan keseimbangan juga terjadi kembali bila ia kemudian memiliki anak atau misalnya ia pindah ke perusahaan baru yang pekerjaannya membutuhkan perhatian lebih.

Karenanya, tidak ada ukuran yang pas untuk menghitung apakah kita sudah balance, karena setiap orang pasti memiliki perbedaan kehidupan dan prioritas hidup. Untuk itu tentunya perusahaan perlu memikirkan strategi worklife balance-nya agar lebih terbuka, lebih bisa mengakomodasi perbedaan-perbedaan keseimbangan yang dimiliki karyawannya, dan yang paling penting, memberdayakan karyawannya untuk mengetahui keseimbangan seperti apa yang mereka butuhkan. Memaksakan suatu program worklife balance kepada karaywan yang merasa tidak membutuhkan, tentunya merupakan tindakan sia-sia yang membuang waktu dan uang perusahaan.

11 April 2008

Now Discover Your Strengths

Heran, buku sebagus ini kok belum juga diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Padahal, buku ini bisa menjadi pegangan bagi mereka yang pingin jago di bidang pengembangan organisasi dan people management.

Now Discover Your Strengths adalah karya monumental Marcus Buckingham yang dibantu oleh Don Clifton, keduanya, dulunya, peneliti dari Gallup Organization. Kini Marcus bikin konsultan sendiri, The Marcus Buckingham Company, sedangakan Don Clifton sudah wafat.

Buku ini adalah tonggak dari apa yang disebut oleh Marcus sebagai Strengths Revolution, revolusi dalam mengelola manusia dalam organisasi. Bila biasanya manusia dalam organisasi dikelola dengan cara meningkatkan kelemahannya agar menjadi sesuai dengan apa yang diinginkan - yang menjadi dasar pemikiran dari apa yang biasa dikenal Competency-Based approach, maka menurut Marcus manusia dalam organisasi seharusnya diperlakukan sesuai dengan kelebihan-kelebihan (strengths) yang ia miliki, atau Strengths-Based approach.

Setelah sekian puluh tahun berkutat di area yang itu-itu juga, competency-based, dunia manajemen Human Resources kini mendapat tantangan serius dengan kehadiran Strengths-based approach ini. Strengths sendiri, atau kelebihan-kelebihan, merupakan paduan dari skill (keahlian) plus knowledge (pengetahuan) plus bakat (talents) yang dimiliki seseorang.

Asumsi yang mendasari strengthsbased ini adalah bahwa:
- setiap orang memiliki bakat (talents) yang unik dan bersifat tetap (tidak berubah-ubah)
- potensi pengembangan diri seseorang ada di area yang memang sesuai dengan strengths atau kelebihannya

Karenanya, menurut Marcus, jangan main-main saat milih pegawai. Skill dan knowledge dan juga pengalaman kerja bukanlah ukuran yang pas untuk rekrut karyawan karena keduanya bisa diubah-ubah. Justru bakat-lah yang menjadi tolak ukur. "Saya ngga punya karyawan tepat untuk mengisi posisi ini", begitu biasanya alasan banyak manajer, padahal duduk perkaranya adalah orang yang direkrut sebelumnya memang tidak berbakat untuk mengisi peran tersebut.

Karena setiap orang unik, maka sudah seharusnya yang namanya performance management itu fokus pada hasil kerja, bukan cara kerja. Nggak masalah cara kerja berbeda-beda selama memang hasil kerjanya memuaskan.

Marcus juga percaya bahwa untuk mengembangkan karyawan, lebih baik bila disesuaikan dengan kelebihannya ketimbang memperbaiki kelemahannya. Alasannya simpel, orang lebih gampang improve bila melakukan sesuatu yang disenanginya. Maka, memperbaiki kelemahan seharusnya dalam rangka 'mengelola kerusakan', bukan untuk dimaksudkan mengubah kelemahan menjadi kekuatan, karena memang tidak mungkin serta membuang waktu dan uang.

Selain itu, ini yang cukup kotroversial, menurut Marcus tidak perlulah setiap orang itu naik pangkat, karena belum tentu dengan naik pangkat alias memegang peran baru, seseorang juga sukses seperti peran lamanya. Mangkanya, agar hal ini bisa terwujud, selain naik pangkat harus disediakan cara reward & recognition lain, seperti misalnya naik gaji yang berkelanjutan, bagi orang-orang yang memang sangat berbakat di suatu peran dalam pekerjaan.

Dalam buku simpel terbitan tahun 2001 ini juga memuat 34 tema talent (bakat) seseorang, yang merupakan respon spontan yang berulang-ulang dari seseorang ketika menghadapi sesuatu hal. Karena berulang-ulang digunakan seseorang sejak kecil, maka tema bakat tersebut - bila dimanfaatkan dalam bekerja - akan menghasilkan kinerja yang nyaris sempurna secara berkelanjutan. Selain itu tersedia pula cara mencari tahu bakat atau talents kita dengan memanfaatkan alat tes online karya Don Clifton, Strengthsfinder.

Buku setebal 260 halaman ini merupakan pengantar komprehensif mengenai strengthsbased approach. Melalui buku ini kita juga berkenalan dengan konsep-konsep psikologi positif yang biasanya mengusung tema-tema worklife balance, happiness at workplace dan employee engagement, yang saat ini sedang digandrungi oleh perusahaan-perusahaan fortune 500.

Nah, jelas bagi penerbit buku di Indonesia, buku ini harus diterjemahkan untuk memperkaya referensi pengelolaan human resources di Indonesia. Jangan sampai, di era internet yang serba cepat ini, kita harus menunggu 10 - 20 tahun untuk membaca mahakarya dalam bahasa indonesia. Jangan sampai tragedi terulang lagi: buku klasik Dave Ulrich, HR Champions, terbit tahun 1997 dan menjadi pegangan seluruh praktisi HR di dunia, malah belum diterjemahkan dalam bahasa indonesia:(.

Bahasa dan keberhasilan tim kerja

"Saya gembira..., tahun pertama bisa juara..." begitu kata seorang pemain sepak bola Liberia yang bergabung dengan klub sepakbola Sriwijaya FC ketika ditanya wartawan televisi tentang perasaannya menjadi juara bersama klubnya Sriwijaya FC. Dengan bahasa Indonesia yang dieja dan terpatah-patah, pemain Liberia itu memaksa dirinya menjawab pertanyaan wartawan. Hebatnya lagi, ketika sang wartawan mewawancarai seorang pemain dari Amerika Selatan, ia juga menjawab dalam bahasa Indonesia, yang terpatah-patah dan terbolak-balik prinsip diterangkan-menerangkannya.

Tulisan ini sama sekali tidak mempermasalahkan nasionalisme, dimana kita senang bila melihat 'orang asing' berbahasa Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana para pemain sepak bola asing yang kini bertebaran di berbagai klub di Indonesia, memaksa dirinya untuk bisa berbahasa Indonesia.

Dalam sepak bola, bahasa jelas menjadi hal penting untuk berkordinasi di lapangan. Bayangkan, bila seorang pemain belakang tidak mengerti apa yang diteriakkan oleh penjaga gawangnya. Atau bayangkan pula bila penyerang yang berteriak meminta bola dioper kepadanya, tidak dimengerti oleh temannya yang sedang membawa bola. Koordinasi bisa berantakan yang ujung-ujungnya membawa petaka.

Tujuan Pesepakbola asing ini memaksa diri untuk belajar dan mempraktekkan bahasa indonesia semata-mata menjaga kredibilitas mereka sebagai pemain profesional, agar prestasi tidak berantakan gara-gara ketidakmampuan berkomunikasi.

Kondisi ini sungguh kontras di dunia usaha. Para pekerja asing, seperti juga pemain bola, setiap hari berhubungan dengan 'pemain' lainnya yang warga indonesia. Bedanya, para 'pemain lainnya' inilah yang memaksa diri untuk berbahasa Inggris. Alasannya klasik, saat ini bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dalam dunia usaha internasional.

Masalahnya apakah terjadi komunikasi yang tepat-guna dalam tim kerja? Bisa iya bisa tidak, tergantung bagaimana kemampuan pemain lokal berbahasa inggris, tergantung dari pemahaman pemain lokal terhadap konteks budaya yang ada di balik kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa inggris yang dilafalkan pemain asing.

Bagaimana bila pemain lokal tidak mengetahui konteks budaya dari bahasa inggris yang diucapkan pemain asing? sebelum terjadi salah pengertian lebih dalam lagi, sebaiknya pemain lokal meminta penjelasan secara kontekstual kepada pemain asing yang mengucapkannya.

Lantas, bagaimana jadinya bila para pemain lokal, yang jelas secara jumlah lebih banyak, ramai-ramai minta penjelasan kontekstual dari setiap kalimat bahasa inggris yang keluar dari mulut pemain asing? Itulah sebabanya mengapa pemain bola asing di Indoensai memaksa diri untuk belajar dan berbicara dalam bahasa indonesia, karena konyol rasanya bila si pemain asing ini harus selalu menjelaskan lebih lanjut secara kontekstual.

Dan itulah yang tidak terjadi dengan pemain asing di dunia usaha. Pemain asing di dunia usaha terlena dengan alasan klasik bahwa bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dunia usaha, dan menganggap latar belakang budaya dari bahasa inggris tidaklah begitu penting bagi lawan bicara mereka yang pemain lokal, sehingga kerap terjadi salah paham dan macetnya komunikasi di perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga asing.

Salah paham jelas mudah dimengerti. Namun kemacetan komunikasi lebih ruwet urusannya. Kemacetan biasanya terjadi bila arus lalulintas komunikasi tidak lancar, sepihak, sehingga semakin jauh dari konsep ideal komunikasi yang saling berbalas. Satu pihak merasa sudah menyampaikan, sementara pihak lain merasa tidak jelasa apa yang disampaikan. Satu pihak meminta pihak lain terbuka untuk menyampaikan masalahnya, sementara pihak lain merasa tidak mungkin menyampaikannya secara mendalam mengingat adanya ketidak-sesuaian dan keterbatasan bahasa yang digunakan. Akibatnya, komunikasi menjadi seperlunya, hanya menyentuh kulit-kulit luar saja, tidak mampu mendalam dan tidak mampu membagi makna.

Bila ini terjadi di dunia usaha, jelas dampaknya kepada pencapaian target bersama, mengingat ada pihak-pihak yang tidak begitu jelas dengan tujuan bersama itu. Ilustrasi tim sepakbola mungkin tidak sepandan dengan kasus dunia usaha, dimana target tim sepakbola lebih mudah dipahami, yaitu meraih kemenangan dengan membuat goal ke gawang lawan sebanyak mungkin. Sedangkan di dunia usaha target keuangan yang jelas angkanya masih harus di pilah-pilah lagi dengan berbagai taktik dan strategi untuk meraihnya. Terbayang bagaimana pentingnya komunikasi untuk menjelaskan berbagai taktik dan strategi kepada tim.

Perbedaan bahasa sesungguhnya hal yang wajar-wajar saja terjadi, mengingat dunia sendiri dihuni berbagai suku bangsa dan budaya. Bila saat ini bahasa inggris mendominasi dunia usaha juga merupakan konsekuensi logis atas dominasi bangsa-bangsa anglo saxon atas perdagangan dunia. Bukan tidak mungkin, entah kapan, bahasa inggris tergeser dengan, bahasa mandarin misalnya. Bagi dunia usaha, masalah utama tentunya bukan perbedaan bahasa, namun bagaimana mencapai kinerja yang menguntungkan bagi usahanya. Untuk itu dominasi bahasa seharusnya tidak lagi menjadi penghalang bagi dunia usaha dalam berorganisasi.

Maksudnya adalah, untuk kasus di Indonesia, sudah saatnya dunia usaha yang mempekerjakan tenaga asing, apakah itu perusahaan multinasional maupun swasta nasional, tidak melulu meminta kefasihan staf lokalnya dalam berbahasa inggris untuk mencapai tujuan bisnis, namun secara arif juga meminta staf asingnya berani mencontoh para pesepakbola asing yang bermain di klub-klub indonesia: memaksa diri untuk berbahasa indonesia. Dengan memaksa diri berbahasa indonesia, para staff asing itu sesungguhnya belajar mengenai konteks keindonesiaan dari bahasa indonesia, belajar mengenai kultur dibalik bahasa. Dengan demikian tercipta keseimbangan antara mereka dengan staf lokal, yang memang sudah diwanti-wanti belajar bahasa inggris sejak sekolah dasar, malah kini mulai playgroup.

Keseimbangan tersebut akan menghapuskan batas-batas derajat dalam berkomunikasi, bila seorang satpam kadang enggan menyapa bossnya yang bule karena takut salah, maka ketika si bule menyapanya dalam bahasa indonesia, maka jelas sang satpam dengan tersenyum lebar membalasnya. Atau misalnya dalam suatu perdebatan pelik urusan pekerjaan, seorang staf lokal dapat mengungkapkan pikirannya dengan bahasa indonesia secara lebih leluasa tanpa harus merasa mendapat pelecehan dari staf lokal lainnya yang lebih fasih berbahasa inggris.

Pada kondisi tersebut, maka komunikasi melalui media bahasa tidak lagi menjadi alat pembeda kasta karyawan, namun kembali ke khitahnya sebagai alat untuk saling berbagi dan memahami satu dengan lainnya.