11 April 2008

Bahasa dan keberhasilan tim kerja

"Saya gembira..., tahun pertama bisa juara..." begitu kata seorang pemain sepak bola Liberia yang bergabung dengan klub sepakbola Sriwijaya FC ketika ditanya wartawan televisi tentang perasaannya menjadi juara bersama klubnya Sriwijaya FC. Dengan bahasa Indonesia yang dieja dan terpatah-patah, pemain Liberia itu memaksa dirinya menjawab pertanyaan wartawan. Hebatnya lagi, ketika sang wartawan mewawancarai seorang pemain dari Amerika Selatan, ia juga menjawab dalam bahasa Indonesia, yang terpatah-patah dan terbolak-balik prinsip diterangkan-menerangkannya.

Tulisan ini sama sekali tidak mempermasalahkan nasionalisme, dimana kita senang bila melihat 'orang asing' berbahasa Indonesia. Tulisan ini membahas bagaimana para pemain sepak bola asing yang kini bertebaran di berbagai klub di Indonesia, memaksa dirinya untuk bisa berbahasa Indonesia.

Dalam sepak bola, bahasa jelas menjadi hal penting untuk berkordinasi di lapangan. Bayangkan, bila seorang pemain belakang tidak mengerti apa yang diteriakkan oleh penjaga gawangnya. Atau bayangkan pula bila penyerang yang berteriak meminta bola dioper kepadanya, tidak dimengerti oleh temannya yang sedang membawa bola. Koordinasi bisa berantakan yang ujung-ujungnya membawa petaka.

Tujuan Pesepakbola asing ini memaksa diri untuk belajar dan mempraktekkan bahasa indonesia semata-mata menjaga kredibilitas mereka sebagai pemain profesional, agar prestasi tidak berantakan gara-gara ketidakmampuan berkomunikasi.

Kondisi ini sungguh kontras di dunia usaha. Para pekerja asing, seperti juga pemain bola, setiap hari berhubungan dengan 'pemain' lainnya yang warga indonesia. Bedanya, para 'pemain lainnya' inilah yang memaksa diri untuk berbahasa Inggris. Alasannya klasik, saat ini bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dalam dunia usaha internasional.

Masalahnya apakah terjadi komunikasi yang tepat-guna dalam tim kerja? Bisa iya bisa tidak, tergantung bagaimana kemampuan pemain lokal berbahasa inggris, tergantung dari pemahaman pemain lokal terhadap konteks budaya yang ada di balik kata-kata dan kalimat-kalimat bahasa inggris yang dilafalkan pemain asing.

Bagaimana bila pemain lokal tidak mengetahui konteks budaya dari bahasa inggris yang diucapkan pemain asing? sebelum terjadi salah pengertian lebih dalam lagi, sebaiknya pemain lokal meminta penjelasan secara kontekstual kepada pemain asing yang mengucapkannya.

Lantas, bagaimana jadinya bila para pemain lokal, yang jelas secara jumlah lebih banyak, ramai-ramai minta penjelasan kontekstual dari setiap kalimat bahasa inggris yang keluar dari mulut pemain asing? Itulah sebabanya mengapa pemain bola asing di Indoensai memaksa diri untuk belajar dan berbicara dalam bahasa indonesia, karena konyol rasanya bila si pemain asing ini harus selalu menjelaskan lebih lanjut secara kontekstual.

Dan itulah yang tidak terjadi dengan pemain asing di dunia usaha. Pemain asing di dunia usaha terlena dengan alasan klasik bahwa bahasa inggris adalah bahasa pergaulan dunia usaha, dan menganggap latar belakang budaya dari bahasa inggris tidaklah begitu penting bagi lawan bicara mereka yang pemain lokal, sehingga kerap terjadi salah paham dan macetnya komunikasi di perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan tenaga asing.

Salah paham jelas mudah dimengerti. Namun kemacetan komunikasi lebih ruwet urusannya. Kemacetan biasanya terjadi bila arus lalulintas komunikasi tidak lancar, sepihak, sehingga semakin jauh dari konsep ideal komunikasi yang saling berbalas. Satu pihak merasa sudah menyampaikan, sementara pihak lain merasa tidak jelasa apa yang disampaikan. Satu pihak meminta pihak lain terbuka untuk menyampaikan masalahnya, sementara pihak lain merasa tidak mungkin menyampaikannya secara mendalam mengingat adanya ketidak-sesuaian dan keterbatasan bahasa yang digunakan. Akibatnya, komunikasi menjadi seperlunya, hanya menyentuh kulit-kulit luar saja, tidak mampu mendalam dan tidak mampu membagi makna.

Bila ini terjadi di dunia usaha, jelas dampaknya kepada pencapaian target bersama, mengingat ada pihak-pihak yang tidak begitu jelas dengan tujuan bersama itu. Ilustrasi tim sepakbola mungkin tidak sepandan dengan kasus dunia usaha, dimana target tim sepakbola lebih mudah dipahami, yaitu meraih kemenangan dengan membuat goal ke gawang lawan sebanyak mungkin. Sedangkan di dunia usaha target keuangan yang jelas angkanya masih harus di pilah-pilah lagi dengan berbagai taktik dan strategi untuk meraihnya. Terbayang bagaimana pentingnya komunikasi untuk menjelaskan berbagai taktik dan strategi kepada tim.

Perbedaan bahasa sesungguhnya hal yang wajar-wajar saja terjadi, mengingat dunia sendiri dihuni berbagai suku bangsa dan budaya. Bila saat ini bahasa inggris mendominasi dunia usaha juga merupakan konsekuensi logis atas dominasi bangsa-bangsa anglo saxon atas perdagangan dunia. Bukan tidak mungkin, entah kapan, bahasa inggris tergeser dengan, bahasa mandarin misalnya. Bagi dunia usaha, masalah utama tentunya bukan perbedaan bahasa, namun bagaimana mencapai kinerja yang menguntungkan bagi usahanya. Untuk itu dominasi bahasa seharusnya tidak lagi menjadi penghalang bagi dunia usaha dalam berorganisasi.

Maksudnya adalah, untuk kasus di Indonesia, sudah saatnya dunia usaha yang mempekerjakan tenaga asing, apakah itu perusahaan multinasional maupun swasta nasional, tidak melulu meminta kefasihan staf lokalnya dalam berbahasa inggris untuk mencapai tujuan bisnis, namun secara arif juga meminta staf asingnya berani mencontoh para pesepakbola asing yang bermain di klub-klub indonesia: memaksa diri untuk berbahasa indonesia. Dengan memaksa diri berbahasa indonesia, para staff asing itu sesungguhnya belajar mengenai konteks keindonesiaan dari bahasa indonesia, belajar mengenai kultur dibalik bahasa. Dengan demikian tercipta keseimbangan antara mereka dengan staf lokal, yang memang sudah diwanti-wanti belajar bahasa inggris sejak sekolah dasar, malah kini mulai playgroup.

Keseimbangan tersebut akan menghapuskan batas-batas derajat dalam berkomunikasi, bila seorang satpam kadang enggan menyapa bossnya yang bule karena takut salah, maka ketika si bule menyapanya dalam bahasa indonesia, maka jelas sang satpam dengan tersenyum lebar membalasnya. Atau misalnya dalam suatu perdebatan pelik urusan pekerjaan, seorang staf lokal dapat mengungkapkan pikirannya dengan bahasa indonesia secara lebih leluasa tanpa harus merasa mendapat pelecehan dari staf lokal lainnya yang lebih fasih berbahasa inggris.

Pada kondisi tersebut, maka komunikasi melalui media bahasa tidak lagi menjadi alat pembeda kasta karyawan, namun kembali ke khitahnya sebagai alat untuk saling berbagi dan memahami satu dengan lainnya.

No comments: