03 September 2013

RIP Pak Tandyo

"Gimana cara kamu menelitinya?" tanya sang penguji.
"Saya datang ke dia, saya interview tidak berstruktur pak" jawab saya.
"Kamu baca ini semua referensi yang kamu tulis di daftar pustaka ini?" tanyanya.
"Iya pak" jawa saya lagi
"Darimana kamu dapat buku-bukunya?" tanyanya lagi.
"Pak Dede Pak" jawab saya sambil menoleh ke Dede Oetomo, pembimbing informal skripsi saya yang pagi itu ikutan nonton ujian skripsi saya.

Hanya tiga pertanyaan. Ya hanya tiga pertanyaan yang keluar dari Soetandyo Wignjosoebroto, sesepuh Fisip Unair, ilmuwan sosial yang dihormati di kampus saya. Namun beliaulah yang memberikan nilai paling tinggi diantara tiga penguji saya, sehingga skripsi itu akhirnya dinilai A gemuk.

***

Selama kuliah, tidak sekalipun saya merasakan kelasnya Pak Tandyo. Namun saat skripsi, entah dengan pertimbangan apa, dosen pembimbing saya meminta agar Pak Tandyo pengujinya. Saya jelas khawatir, karena nama besar Pak Tandyo, bisa-bisa saya terbantai di ujian skripsi. Apalagi metode penelitian saya rada ngga umum, semiotika, melawan kebiasaan umum saat itu yang kuantitatif.

Namun setelah ujian skirpsi justru saya paham bagaimana seharusnya seorang guru mendidik anaknya seperti Pak Tandyo lakukan di ujian skripsi saya itu. Beliau tidak mempermasalahkan teknis-teknis metode penelitian. Beliau tidak mempermasalahkan pendekatan-pendekatan teoritis.

Beliau mempermasalahkan kemauan saya untuk belajar dan kemudian menyelesaikan skripsi saya. Beliau menghargai proses belajar saya dalam membuat skripsi itu. Untuk itulah beliau tidak segan-segan memberikan nilai tinggi bagi saya, melebihi nilai yang diberikan dosen pembimbing saya sendiri.

***

Sampai saat ini, saya selalu bangga karena diuji oleh Pak Tandyo. Bukan karena beliau profesor yang disegani, namun bangga karena beliau 'memberikan' ilmu yang sangat berharga bagi saya: belajar itu butuh kemauan, dan hasil belajar itu tidak langsung sempurna. Itulah kondisi skripsi saya saat itu, tidak sempurna, namun merupakan hasil belajar dan kerja keras menyusunnya, dan tetap saja di apresiasi Pak Tandyo karena memang begitulah seharusnya proses belajar seorang murid.

Beliau saya nobatkan sebagai salah satu 'guru gelap' saya, karena memang secara formal saya tidak pernah menjadi murid di kelasnya, namun saya mendapatkan hal yang sangat berharga bagi hidup saya untuk berani mencoba sesuatu yang baru semaksimal mungkin tanpa harus khawatir dengan hasilnya. Saya bangga menjadi 'murid gelap'nya.

Selamat jalan Pak Guru, Selamat jalan Pak Tandyo.