25 October 2009

Belajar StrengthsBased

Ingin belajar mengenai pendekatan Strengthsbased? Jujur aja, referensinya di Indonesia masih dikit banget. Untung ada internet:), jadi masih bisa browsing cari tau ke sumber-sumber informasi.

Sekedar tips biar ngga bingung belajarnya:

Tentang Psikologi Positif:
"Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment" oleh Martin Seligman. Yang ini juga udah ada terjemahan bahasa indonesianya dan gue juga lupa siapa publishernya. Kudu dibaca kalau tertarik psikologi positif yang jadi cikal bakalnya strengthbased approach.

Tentang Strengthsbased approach-nya Gallup:
"Follow this Path: How the World's Greatest Organizations Drive Growth by Unleashing Human Potential" oleh Curt Coffman & Gabriel Gonzalez-Molina. Terjemahan bahasa indonesianya sudah ada cuma lupa siapa publishernya. Buku ini njelasin bussines case nya Gallup kenapa mereka menggunakan strenghtsbased approach dalam konsultasi manajemennya.

Tentang Employee Engagement dan Survey Q12nya Gallup:
"First, Break All the Rules: What the World's Greatest Managers Do Differently" oleh Marcus Buckingham & Curt Coffman. Terjemahan bahasa indonesia juga udah ada. Wajib baca kalau pingin jadi great manager atau pingin buat tim yang engaged!

Tentang mencari strengths diri sendiri:
"Now, Discover Your Strengths" oleh Marcus Buckingham dan Donald O. Clifton. Ini masterpiecenya Marcus Buckingham. Dalam buku ini ada kode yang bisa dipakai untuk ikut StrengthsFinder-nya Gallup dan kita bisa tahu top 5 signature strenghts kita.

Buku Authentic Happiness-nya Martin Seligman juga ada test tentang mencari kelebihan. Malah Prof. Martin yang disebut-sebut sebagai pelopor Psikologi Positif ini punya situs test gratis untuk mencari strenghts diri kita, di alamat http://www.authentichappiness.sas.upenn.edu/

Tentang mengelola tim berdasarkan Q12:
"12: The Elements of Great Managing" oleh Rodd Wagner, Ph.D. dan James K. Harter. Berisi penjelasan satu per satu isi Q12 dan bagaimana aplikasinya di keseharian kerja.

Tentang hubungan engaged employee yang bisa membuat engaged customer:
"Human Sigma: Managing the Employee-Customer Encounter" oleh John H. Fleming, Jim Asplund. Katanya sih isinya tentang 5 hukum manajemen untuk menciptakan hubungan produktif antara karyawan perusahaan dengan pelanggan perusahaan. Buku ini, melalui penelitian2nya, menjawab secara positif bahwa pelanggan menjadi loyal kalau dilayani karyawan yang engaged. Huh... gue belom baca nih buku.

Silakan ditambahkan bila ada referensi lainnya.

18 October 2009

Membuat karyawan betah

Apa yang menyebabkan karyawan ngga mau resign alias betah? Gaji besar? benefits bagus? kantor yang cool? kantin yang funky? engga juga tuh, setidaknya begitu menurut Gallup.

Dari hasil penelitian mereka ke 100 ribu karyawan dari 2500 unit kerja di 24 perusahan dari berbagai jenis industri, mereka mendapatkan ada lima hal yang menjadi faktor utama penyebab betahnya karyawan untuk bertahan dalam suatu perusahaan:

1. Pemahaman akan kontribusi yang diharapkan: maksudnya bila karyawan tahu dengan jelas apa kontribusi yang bisa ia berikan dan diharapakan perusahaan darinya, maka si karyawan akan senang dalam bekerja. Ia merasa pekerjaannya penting dan karenanya harus melakukan pekerjaan denga benar agar target besar perusahaannya tercapai.

2. Alat bantu kerja yang pas: karyawan akan senang dalam bekerja bila dibantu peralatan - baik fisik maupun non fisik seperti informasi - yang memang mendukung dan pas bagi dirinya agar mampu berkontribusi.

3. Berkesempatan melakukan hal terbaik setiap hari: Karyawan akan betah bila dalam keseharian kerjanya ia dapat melakukan hal-hal yang memang bisa ia lakukan dengan sangat baik. Ini artinya karyawan akan senang bila kerjaannya memang pas dengan skill, knowledge dan bakatnya, alias right fit.

4. Dihargai sebagai pribadi: karyawan akan senang bila atasan dan teman-teman kerjanya memperlakukan dirinya sebagai pribadi yang utuh dan apa adanya.

5. Pendapatnya didengar: karyawan juga akan betah bila ia tahu bahwa atasan dan teman-temannya menghargai pendapat yang ia sampaikan.

Kalau dilihat-lihat ke lima hal itu, ternyata:

a. Ngga ada kaitan dengan besarnya gaji atau pendapatan, dengan mewahnya fasilitas kerja, dengan nama besar perusahaan, dengan hebat atau kharismatiknya sang CEO perusahaan.

b. intervensi perusahaan ke karyawan ngga terlalu efektif karena beragamnya cara untuk mengintervensi ke lima hal tersebut yang amat tergantung dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing karyawan.

c. peran atasan langsung sangat-sangat besar dan sentral untuk membuat ke lima hal tersebut terjadi, baik bagi si karyawan maupun bagi teman2 karyawan, karena memang hanya si Line Managernya yang bisa :

  • menjelaskan secara rinci arti penting dan hubungan pekerjaan karyawan dengan target besar perusahaan,
  • menentukan dan memberikan alat bantu yang tepat bagi si karyawan untuk menunjang karyawan dalam bekerja,
  • mengetahui kelebihan-kelebihan dan bakat karyawan sehingga mampu menempatkannya pada pekerjaan yang sesuai dengan kelebihan itu.
  • membangun suasana saling peduli dan menghargai antar anggota tim kerja sehingga seorang karyawan merasa menjadi pribadi yang utuh di tempat kerjanya
  • membentuk suatu budaya mendengar dan menghargai pendapat orang dalam tim kerja, sehingga seorang karyawan merasa pendapatnya dihargai oleh atasan dan teman kerjanya.

Kita tentunya pernah dengar kiasan yang bilang "karyawan resign bukan meninggalkan perusahaan, melainkan line managernya." Temuan Gallup ini setidaknya membuktikan bahwa kiasan itu ada benernya.

11 October 2009

Catatan dari Padang

...All dead all dead
But I should not grieve
In time it comes to everyone
All dead all dead
But in hope I breathe
Of course I dont believe
Youre dead
And gone...
All dead...
And gone...
*queen - all dead,all dead


Baru kali ini gue merasa malu pernah belajar jurnalistik. 'Kali ini' itu ketika gue di Padang, saat tanggap darurat paska gempa lalu.

Saat di Padang beruntunglah gue dapet penginepan di hotel hangtuah * thanks to pak eddy*. Di hotel itu dipenuhi juga wartawan media asing. Mereka hebat-hebat. Kerja tak kenal waktu mengejar deadline. Netbook mereka lincah bekerja, tak cuma utnuk menulis berita, namun juga untuk edit video.

Hari kedua di padang, barulah mulai rasa enek gue ke wartawan-wartawan itu. Dari pagi sampe malem beritanya melulu tentang hancur, mati, tertimbun, rusak parah, merintih... blom lagi di tv lokal ngga kalah rintonya, adegan anak nangis diulang-ulang untuk setiap breaking news tentang gempa... hah mual.

"Give us a good news lah..." gitu teriak gue ke seorang wartawan strait times dari singapur. Ia nampaknya paham kesebalan gue, sekaligus cerita gimana ia mengcover gadis cilik yang selamet dari gempa dalam liputannya.

"Bad news is a good news". Begitulah ajaran junalistik kapitalis yang diajarkan di sekolah-sekolah komunikasi di indonesia. Semakin baaad semakin goood.

Padahal, sepemahaman gue setelah ngobrol sana-sini dengan teman2 di padang, mereka butuh banget keceriaan, butuh motivasi untuk nerusin hidup, butuh penguat-penguat modelan 'ayo kamu pasti bissaa...'. Mereka ngga butuh-butuh banget belas kasihan.

Untuk wartawan peliput bencana, challenge elo semua gimana caranya ngeliput bad news dengan tone positif. Ngeliput bencana tanpa harus semakin bikin down korban bencananya.

link ke media yang ngga 'bad news is a good news'
http://www.goodnewsnetwork.org/
http://www.happynews.com/

30 August 2009

Family day? hmm...

Imam, sebut saja begitu, wajahnya berkeringat. Ia sepagian stand by di depan loket Dufan. Sedang temannya Rama, siap-siap di loket bersama beberapa rekan lainnya dikelilingi kardus-kardus besar berisi souvenir. Di kantor, Joni siap membawa toa, teriak-teriak meng-komando beberapa ratus orang untuk naik bis. Sedikitnya ada sepuluh bis parkir rapi berjejer di kantor.

Begitulah nasib teman-teman saya panitia family day. Kantor saya saat itu punya 3 ribu karyawan. Bila rata-rata satu karyawan itu dihitung tiga dengan keluarganya, sedikitnya sudah 9 ribu peserta yang hadir di family day yang digelar di Dufan.

Bagaimana acaranya?, weleh... Setelah antri di pintu masuk, dapet kupon makan dan souvenir, didalam dufan sudah sulit mengkontrolnya. Masing-masing sibuk menyelamatkan keluarganya, agar tak tercerai berai... Sempat ngobrol dengan keluarga dari rekan sejawat? Huhh, mana sempat? Jangan tanya derita panitianya. Nyaris semuanya kebagian begadang nyiapin ini itu. Boro-boro tuh panitia bisa menikmati family day dengan keluarganya, yang ada was-was melulu, takut ada apa-apa.

Lain lagi ceritanya dengan istri saya. Kantornya cuma 25 orang. Dikali tiga pun ngga sampai seratus. Tiap tahun ada family day. Tiap tahun bossnya minta maaf ke keluarga karena waktu bapak-ibunya kadang terpakai lebih panjang di kantor. Saya bisa kenal dengan keluarga teman-teman kerja istri saya itu. Saya malah bisa melihat perkembangan anak dari salah satu teman istri saya, mulai dari bayi sampai bisa jalan. Sungguh-sungguh family day yang sesungguhnya.

Sepertinya family day memang efektif kalau pesertanya ngga kebanyakan. Lagian memang tujuan family day itu sendiri adalah memperlihatkan tanggung jawab perusahaan bahwa mereka peduli dengan keluarga karyawannya, sekaligus memberi kesempatan chit-chat antara keluarga sesama karyawan.

Cuma kadang perusahaan lupa, bahwa jumlah besar itu ngga ngefek apa-apa. Ngga ada hebat-hebatnya kok bisa ngumpulin sembilan sepuluh ribu sekaligus di suatu tempat.

Di saat semakin banyak bukti bahwa kontribusi datang dari tim terkecil di suatu perusahaan, bukan dari perusahaan itu sendiri secara menyeluruh, maka ada baiknya kalau family day itu justru diselenggarakan berbasis tim kerja. Disitu atasan langsung sang karyawan dapat berbincang dengan keluarga karyawan. Dapat melihat lebih lama mengenai sisi kehidupan keluarga karyawan, sehingga semakin memperkaya pengetahuannya terhadap kondisi karyawan.

Memang ngga spektakuler kesannya, cuma justru efektif mencapai tujuan awal dari family day: meningkatkan engagement karyawan.

27 April 2009

Irit dengan Engagement, Mungkinkah?

Bila engagement dianggap sebagai kemauan karyawan untuk sukarela kerja ekstra karena keterlibatannya terhadap pekerjaan, atasan, tim kerja ataupun organisasinya, mungkinkah engagement ini bisa dipakai untuk mengirit biaya tenaga kerja?

Bisa iya bisa tidak.

Bisa iya, karena engagement bisa membuat perusahaan irit rekrutment, artinya ngga perlu sering2 ngerekrut karyawan baru. Engagement bisa juga memaksimalkan produktivitas, sehingga biaya per kepala karyawan turun karena kinerja meningkat. Kecelekaan kerja dan absensitas juga menurun, sehingga tentunya biaya tenaga kerja benar2 menuju ideal bila dibandingkan dengan kinerja.

Bisa juga tidak, bila maksud pengiritannya adalah untuk membayar karyawan lebih murah ketimbang kompetitor sekelas, atau pasar kerja di industri sejenis, atau pasar kerja secara umum. Bila tujuannya seperti itu, mungkin hanya efektif pada saat kondisi employer market, atau kondisi dimana orang susah cari kerja, ekonomi lesu, angka pengangguran besar.

Engagement juga menjadi tidak efektif dikembangkan bila kondisi perusahaan memang dibawah aturan normatif yang berlaku. Gimana mau terlibat bila underpaid? Jadi barulah membicarakan engagement setelah aturan normatif maupun aturan pasar diaplikasikan dalam perusahaan. Engagement saja tidak cukup kuat menahan kesabaran karyawan terhadap kondisi kerja yang buruk.

Bila diibaratkan garis, dimana posisi kiri adalah negatif, posisi tengah adalah nol, dan posisi kanan adalah positif, negatif adalah kondisi kerja dibawah normatif, nol dimana kondisi kerja sama dengan normatif dan positif adalah kondisi kerja lebih baik ketimbang normatif, maka engagement efektif untuk meningkatkan posisi kanan, dari nol menuju positif.

Engagement bisa dikatakan sebagai alat bantu untuk mendorong kinerja perusahaan dari sekedar Good (nol) menjadi Great (positif). Karena itulah bila kondisi kerja perusahaan masih negatif, ya jangan engagement dulu, tapi comply dulu ke peraturan yang ada, kejar "Good" dulu lah.

Jadi, apakah engagement itu alat untuk menjadi great? Betul!

Pada saat karyawan bekerja sesuai dengan yang diharapkan, sesuai dengan deskripsi kerjanya, sesuai dengan target kerjanya, sesungguhnya karyawan itu berada pada titik nol, memberikan kinerja yang memang diharapkan, biasa saja.

Sedangkan perusahaan Great, adalah perusahaan yang secara berkesinambungan mampu berkinerja lebih dari biasa. Tentunya untuk memiliki kinerja yang lebih dari biasa, perusahaan juga butuh karyawan yang mau bekerja lebih dari apa yang diharapkan. Disinilah relevansi keterlibatan karyawan atau employee engagement.

Melalui engagement, perusahaan dapat memperbanyak kelompok karyawannya yang engaged, kelompok karyawan yang secara sukarela bekerja lebih, semata-mata karena memilki keterlibatan emosi dengan 'sesuatu', sesuatu itu dimulai dari kecintaan terhadap pekerjaannya (right fit), kecintaan terhadap atasannya yang telah memberikan kesempatan si karyawan untuk melakukan yang terbaik dan menempatkannya pada posisi yang pas, kecintaan terhadap tim kerjanya, yang telah menghargai, peduli dan berbagi suka dan duka kepada dirinya, yang kemudian ujungnya adalah kecintaan terhadap perusahaannya.

24 April 2009

Sukarela kerja ekstra

Trend saat ini adalah employee engagement... Kesannya hebat gitu lo kalau manajemen suatu perusahaan bikin program yang berkaitan dengan engagement ini.

Perusahaan jasa survei pun ngga mau kalah. Survei opini karyawan ataupun kepuasan karyawan, ditambahin pertanyaan-pertanyaan tentang employee engagement, sehingga kesannya engagement selalu diukur.

Sukarela kerja ekstra, gitu kira-kira arti employee engagement ini. Jadi, kalau dipikir-pikir, dari jaman dulu udah ada kok karyawan yang sukarela kerja ekstra, bukan barang baru lah. Supaya mau kerja ekstra secara sukarela, jelas perlu stimulus dong, yang sayangnya stimulus itu bukan cuma duit doang.

Masalahnya, apa dengan satu stimulus aja cukup? Lah artinya aja sukarela kerja ekstra, masa bisa dipukul rata dengan, misalnya, satu program yang berlaku umum? misalnya biar engage, perusahaan ngadain klub futsal untuk karyawan, terus gimana yang suka volley atau basket?

Inilah repotnya engagement. Tiap karyawan kan punya mau yang beda-beda? gimana memenuhinnya?

Suka ngga suka, perusahaan jaman sekarang, yang ngaku berorientasi ke engagement karyawannya, harus rela menyerahkan 'power'nya ke line manager. Si Line Manager inilah kunci dari engagement.

Ngga percaya? Gini, misalnya aja ada CEO yang kharismatik, visioner deelesbe, yang setiap ia melangkah ke sudut perusahaannya, karyawannya akan terbius oleh wibawanya. Setiap ia bicara dengan karyawan, sang karyawan langsung terdongkrak motivasi kerja.

Besoknya, setelah sang CEO kembali ke kantor sudutnya di head office, si karyawan malah ketemu sama atasan langsungnya, yang nyebelin, yang bisanya cuma nyuruh-nyuruh doang, yang ngga peduli sama pengembangan karir si karyawan, yang ngga mau ndengerin curhat si karyawan... nah apa si karyawan itu terus masih bisa bertahan dengan motivasi dari si CEO? padahal ngga setiap hari dia ketemu CEO, padahal setiap hari dia ketemu si atasan langsungnya.

Berbahagialah bagi seorang CEO bila ia memiliki barisan line manager yang tangguh sebagai people manager, barisan line manager yang bisa membangun kepercayaan anakbuahnya sehingga sang anak buah mau melakukan kerja ekstra bagi si line manager. Itulah sesungguhnya employee engagement.

12 April 2009

Maaf saya [tidak jadi] golput

Ya, maaf golputers, saya ngga jadi golput kali ini. TPS persis sebelah rumah, undangan ada di meja, pendaftaran pun baru tutup jam 12 siang, jadi apa lagi alasan saya untuk golput?

Ideologi? nggak lah. Males, iya.

Males, karena nyoblos atau nyontreng identik dengan antrian panjang.

Sebenernya sih males banget juga bukan alesan 100 persen. Mungkin tepatnya ngga ada 'daya tarik' yang bisa ngalahin tidur atau bermalas-malasan dirumah saat hari pemungutan suara. Ngapain juga rela antri kalo ngga punya calon yang sreg?

"tetep dateng walau ngga nyontreng siapa2" gitu kata seorang ahli politik.
Lah? ya ngapain dateng kalo cuma abstain? abstain kan bisa dari rumah.

Gosipnya, sekitar 40 persen yang diundang malah ngga dateng. Artinya kan 40 persen abstain, ngga milih siapapun.

Gue, karena saat injury time tetep dateng dan nyontreng, pastinya masuk ke kategori 'warga negara yang menggunakan hak politiknya', atau singkatnya warga negara yang baek. Apa ganjarannya? ya ngga ada... kalo calon atau partai yang gue pilih kalah (kenyataannya iya) gimana? ya ngga papa lah... Trus apa untungnya? paling engga gue ketemu tetangga2 gue, kenalan sama seorang pengawas pemilu dari kecamatan, ngerasain pemilu nyontreng (ngga nyoblos lagi), ketawa ketiwi ndengerin ledek-ledekan hasil penghitungan suara. Yah, banyaklah untungnya dibanding kalo gue tetep tidur atau ngempet di rumah aja...:)