21 August 2010

Mandeknya Karir

"Perusahaan ini bagaimana sih??? Karir saya tidak berkembang!", kalimat keluhan itu menjadi klasik buat saya yang berprofesi di bidang human resources, ketika bertatap muka dengan karyawan. Saat digali lebih lanjut, ternyata karyawan itu sudah 8 tahun berada di posisi yang sama! Akibatnya, gajinya pun bergerak lambat, maka ia pun berkesimpulan karirnya mandek.

Bila saya sudah tak bisa beramah-tamah lagi, maksudnya menjawab keluhan itu dengan kalimat-kalimat sopan, maka segera saja saya 'tembak' dengan pertanyaan "loh memang boss anda ngga pernah memikirkannya? anda sendiri sudah melakukan apa?".

Ya, mana mungkin perusahaan memikirkan satu persatu perkembangan karir karyawan? tidak mungkin, perusahaan hanya mampu membuat fasilitas, selebihnya tergantung si karyawan, tergantung line manager karyawan. Menyerahkan tanggung jawab pengembangan karir ke perusahaan sama halnya menyerahkan diri kita menjadi robot tak berjiwa.

Mengapa?

Karir adalah aspirasi pribadi. Lebih bagus lagi bila aspirasi itu didasari kelebihan diri kita sendiri, bukan karena pengaruh lingkungan ataupun pihak di luar diri kita. Hanya kita sendirilah sesungguhnya yang tau tentang kehebatan yang kita miliki. Masalahnya, tak seorangpun akan tau kehebatan kita bila kita tak pernah mempraktekannya.

Dalam berkarir sebagai karyawan, kita kerap memiliki pilihan-pilihan. Saat ada pilihan yang membuat kita dapat mempraktekan kehebatan kita, ambil saja! selanjutnya karir berkembang sendirinya.

Bayangkan, kehebatan yang kita miliki adalah 'sesuatu' yang kita yakini kita pasti mampu melakukannya dengan sangat baik. Mengapa bisa sangat baik? karena memang kita senang melakukannya, serta kita memiliki skill dan knowledge yang cukup. Bila itu menjadi pekerjaan sehari-hari, maka sehari-hari pula kita memberikan hasil terbaik. Atasan mana yang tak girang demi melihat anak buahnya selalu memberi hasil baik? Akibatnya ya karir kita secara otomatis bertumbuh. Kalaupun atasan kita terlalu cupet untuk memberikan pengembangan karir, jangan takut, atasan lain di perusahaan lain siap membajak anda kok.


Repotnya kadang kita bekerja bukan atas dasar kesenangan yang menjadi aspirasi kita. Kadang kita bekerja karena tidak ada pilihan, sehingga yang ada saja yang dikerjakan. Akibatnya, ya gitu deh, jarang-jarang kinerjanya near perfect alias biasa-biasa aja. Selain itu, karena bukan didasari kesenangan, kita pun bekerja seadanya saja. Kalau sudah demikian, akankah boss kita berani memberi tanggung jawab yang lebih besar? Akibatnya dahsyat... 8 tahun jalan di tempat, gaji naik mengikuti inflasi saja, lebih parahnya lagi, semuanya itu kita anggap sebagai salah perusahaan...

09 July 2010

Dipecat karena Kinerja?

"Saya pingin karyawan yang tidak berprestasi dipecat!", begitu ungkap seorang CEO yang dengar-dengar memang sangat berorientasi pada performance dalam mengelola perusahaan.

Memang, sejak persaingan semakin keras dan berat, kemudian banyak perusahaan mengaku berorientasi pada kinerja. Alat-alat bantu pengelolaan kinerja yang dibuat konsultan manajemen pun laris dibeli perusahaan. Rewards karyawanpun di diferensiasi antara yang berkinerja bagus dan yang enggak. Buat si para pemalas, dibuatkan program khusus agar kinerjanya membaik. Kalau kinerjanya ngga juga membaik maka siap-siap dipecat, manage out istilah kerennya.

Urusan dipecat inilah yang bikin repot perusahaan di Indonesia, karena bahkan seorang CEO pun belum tentu bisa ngomong 'you're fired' ala Donald Trump, karena di uu ketenagakerjaan indonesia ngga ada tuh aturan yang bilang bahwa kinerja bisa menjadi alasan phk...

Cuma kalau ditelaah lebih dalem, UU tersebut bukannya tidak mbolehin kita mecat orang krn kinerja, cuma memang proteksinya utk karyawan banyak sehingga perusahaan ngga gampang begitu aja mecat.

Kinerja kan ngga jatuh dari langit. Perlu pembinaan berkelanjutan agar karyawan kinclong prestasinya. Karyawan kan harus bener2 tahu apa yang harus dicapainya. Unttk itu perusahaan, dalam hal ini line manager, memang perlu banget ngobrol panjang lebar dengan karyawan mengenai apa yang harus dicapai.

Setelah clear tentang target, line manager perlu tau lagi tentang peralatan bantu yang dibutuhin karyawan agar bisa mencapai targetnya.

Urusan alat bantu ini yang kadang bikin runyam. Alat bantu kan gak cuma telepon atau notebook aja, alat bantu juga termasuk policy, prosedur, petunjuk pelaksanaan dan sejenisnya yang bisa membimbing karyawan mencapai kinerja normal. Sialnya banyak perusahaan ngga siap dengan ini. Di sisi ini juga terlihat egoisnya perusahaan. Kalau karyawan ngga perform pengen dipecat, tapi kalau ditanya gimana caranya agar perform, perusahaan gak punya jawaban...

Agar adil, suka atau gak suka perusahaan harus menemukan cara agar karyawannya perform. Cara itulah yang kemudian dijadikan prosedur atau petunjuk atau manual atau apapun namanya yang wajib diikuti karyawan. Bila 'cara' tersebut terbukti manjur menormalkan kinerja karyawan, selanjutnya 'cara' tersebut di improve, dikembangkan atau dimodifikasi agar lebih kinclong lagi, dengan demikian standar kinerja juga perlahan tapi pasti naik.

Hanya saja, sekedar punya alat bantu 'cara mencapai kinerja' baru membuat kinerja normal saja, good saja. Bagaimana agar kinerja more than good alias excellent? No pain no gain... Jelas perusahaan dulu yang harus 'extra mile' menyediakan 'cara-cara' tambahan selain cara standar, misalnya yang umum dilakukan dengan insentif, bonus dll. Ditambah dengan cara-cara yg non-cash seperti mendorong employee engagement, melatih line manager agar mampu menghandle people secara personal. Dengan inisiatif ekstra dari perusahaan barulah kemudian karyawan pun memberikan extra mile bagi perusahaan.

Kalau saja cara mencapai kinerja normal tersebut sudah tersedia dan terbukti bahwa dengan menjalankannya kinerja bisa normal, barulah kita ngomong masalah mecat orang karena kinerja. Karena memang karyawan yang ndableg, yang ngga mau njalanin juklaknya yang kudu di manage out, bukan karena kinerja, tapi karena tidak patuh mengikuti petunjuk kerja yang berakibat tidak tercapainya kinerja.

27 June 2010

Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian?

Karena ayahnya seorang bankir, sejak kecil Joni pun ingin jadi bankir. Sialnya, Joni malah lebih suka main gitar, bikin lagu, ngeband dan hal-hal berbau seni lainnya.

Namun Joni percaya, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian... Jadi, demi menjadi bankir, yang kalau melihat ayahnya yang banyak duit, Joni rela bersakit-sakit dahulu, belajar matematika, fisika, ekonomi habis-habisan.

Meski nilai-nilai pelajaran ilmu pasti Joni bagus, namun hal itu itu diraih dengan sangat bersusah payah, tidak seperti nilai pelajaran keseniannya yang mudah saja mendapat excellent. Sekali lagi, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.

Ketika masuk kuliah, demi mengejar cita-cita menjadi bankir seperti bapaknya, Joni habis-habisan belajar ilmu-ilmu pasti. Main dengan teman-teman terpaksa ia korbankan. Justru main gitar tetap ia lakukan saat ia stress setelah belajar. Akhirnya ia pun diterima di fakultas ekonomi perguruan tinggi ternama.

Namun itu belum selesai. Di kampus, Joni mati-matian belajar, demi mengejar IPK 3.2 lebih, agar nantinya memenuhi syarat administrasi masuk ke bank ternama. Untuk itu ia kembali habis-habisan belajar. Ia lupakan nongkrong dengan teman-temannya. Akhirnya ia pun lulus dengan ipk 3.2.

Setelah lulus, kembali Joni berjuang habis-habisan demi masuk program pendidikan eksekutif sebuah bank ternama. Dan perjuangannya membuahkan hasil, ia diterima di bank ternama itu.

Sewaktu bekerja di bank, ia kembali berjuang habis-habisan, demi menjadi manajer, agar segera bisa punya rumah dan mobil. Saking habis-habisannya mengejar ambisi, Joni kerap stress, penyakit yang sebenarnya bukan barang baru buat Joni... sejak SMA pun Joni terbiasa stress.

Setelah berjuang dengan susah payah mencapai posisi manajer dan punya rumah dan mobil kreditan, kini Joni menargetkan menjadi manajer senior di bank. Kembali ia berjuang habis-habisan, stress, tak ada waktu untuk kegiatan lain di luar kantor...

Joni pun, dengan susah payah, akhirnya menjadi manajer senior. Duitnya banyak. Mobilnya tiga, rumahnya dua. Jangankan kebutuhan primer dan sekunder, tertier saja mudah dipenuhi Joni. Namun Joni harus menjadi direktur bank, jadi ia harus berjuang habis-habisan lagi untuk mencapainya...

Sampai kapan sih Joni harus berjuang habis-habisan? sampai kapan sih harus bersakit-sakit dahulu? kapan senang-senangnya Joni?

Ah, andai dulu Joni sekolah kesenian, mendalami teknik bermain gitar, mengarang lagu, mungkin sejak muda sampai tua ia bersenang-senang menjalani hobinya.Karena senang menjalaninya, bukan hal sulit buat Joni menjadi pemain gitar terbaik, pengarang lagu yang handal atau pelukis hebat, mungkin duit yang ia hasilkan sama besarnya sebagai bankir. Hanya saja, jadi seniman, buat Joni, bukan yang harus berjuang habis-habisan dan bersusah payah, lah wong Joni memang senang kok.

Andai saja dulu Joni memilih bersenang-senang dahulu, bersenang-senang kemudian...