09 February 2011

Sesudah Survey Engagement

Ketika employee engagement menjadi trend di wacana per-human-resources-an, maka langkah awal yang biasanya diambil adalah membuat survey engagement di karyawan.

Dari survey engagement, setidaknya kelihatan gambaran tingkat keterlibatan karyawan dengan tim kerjanya, dengan atasannya dan juga dengan pekerjaannya.

Survey engagement ini, tidak seperti survey iklim kerja biasanya, seharusnya tidak mengenal sampel-sampelan. Lah kan engagement datangnya dari orang per orang (karyawan), engagenya juga ke orang (atasan) ya gak bisa disampelin lah.

Jadi kebayang deh repotnya bikin survey ini kalau karyawannya ribuan... untung ada internet yang bisa mempermudah survey.

Bukan apa-apa, survey engagement barulah langkah awal kecil dari perusahaan yang mengaku ingin mempraktekan employee engagement di tempat kerja, jadi kalau perusahaan keburu kehabisan tenaga gara-gara bikin survey engagement aja, ya sama aja buang duit ke laut.

Justru sesudah survey kisah menarik perjalanan meningkatkan employee engagement ini dimulai.

Tersebutlah sebuah tim yang hasil surveynya 5 alias sempurna... Saya terperangah melihatnya dan timbul prasangka buruk ke tim ini. Jangan-jangan semua anggota tim dipaksa bossnya menjawab 5, jangan-jangan waktu ngisi si bossnya nraktir tim dulu, jangan-jangan si boss sendiri yang ngisi!

Namun setelah ngobrol dengan oknum anggota tim itu, sirna segala pikiran buruk saya. Yang terjadi adalah keingintahuan diapain aja sih anggota tim itu sampai-sampai ngasih angka 5 ke semua pertanyaan survey.

"boss gue gampang diajak ngobrol kalo gue lagi kesusahan di kerjaan" katanya. Ia bisa ngomong apa aja, gak cuma target kerjaan, dan oknum ini gak ngerasa canggung karena emang si boss selalu ngerespon positif, sampai ke persoalan pribadi dirinya yang dia bilang gak mungkin dia berani ceritain ke orang lain. Hmmm.

"dia gak pernah muji pake ucapan, tapi dia cukup manggil nama gue dari jauh, sambil tersenyum dan ngangkat jempolnya ke arah gue... gue seneng banget lo kalo dia begitu," ungkap teman lainnya se tim oknum tersebut.

"kalau dia suruh gue untuk njebur laut, gue siap ngelakuinnya demi dia" kata anggota tim lainnya yang gayanya sedikit urakan.

Nah waktu si boss ditanya apa resepnya sehingga timnya begitu kompak, jawabannya simpel aja, "saya cuma perlakukan mereka sebagai mana layaknya manusia saja, ingin didengar, ingin dihargai dan diakui dan ingin kehidupannya tumbuh menjadi lebih baik. Saya gak tau tuh teori-teori tentang employee engagement, atau kita juga gak bikin suatu yang khusus kok untuk ningkatin engagement kita. Saya cuma pingin bantu mereka berprestasi di kerjaan, sehingga kehidupan mereka dan juga saya sendiri menjadi lebih baik, itu aja." begitu pengakuan si manajer tim.

Masalahnya, yang dilakuin si manajer itu, justru hal yang paling susah bagi perusahaan memformalkannya. Bayangin, gimana caranya perusahaan menetapkan aturan agar seorang manajer itu harus ramah, sopan, tidak sombong dan congkak ke anak buah? itu gak bisa di atur, itu datang dari hati manajer.

Padahal, itulah esensi dari employee engagement, itulah yang seharusnya dilakukan perusahaan yang mengaku mengadopt best practice employee engagement: gimana caranya mendorong manajer agar care, respect dan fokus pada anak buahnya serta bisa ngasih inspirasi kehidupan yang lebih baik.